Gambar

Gambar
Izinkan saya berbagi tentang kisah saya dan mereka..!!

Selasa, 24 September 2013

Forevermore - Part.2

Yogyakarta, 13:40 Siang Hari
Mulai membosankan, candanya lenyap seketika sejak beberapa menit yang lalu. Bukan ini yang aku inginkan, kekosongan yang kurasakan selama berbulan-bulan tanpa dirinya tidak seharusnya dihabiskan dengan saling berdiam diri seperti ini. Entah karena salah caraku bercerita, atau memang ada yang salah dengan ceritaku. Ahhh.. aku tak mengerti dengan cara berpikirnya kali ini, yang pasti dia terdiam karena ceritaku.
"Tukang marah, aku bosan... apa kamu mau menghabiskan waktumu sepanjang siang di tempat ini?"  tanyaku, mencoba mencairkan suasana.
"Tidak, aku hanya sedang bingung, kemana kita setelah ini, ada ide?"
Sifatnya masih saja belum berubah sejak pertama aku mengenalnya, aku hampir mati kutu, merasa bersalah padanya, ternyata bukan aku yang dia pikirkan. Tapi walau bagaimanapun, Dika adalah sosok laki-laki yang memiliki pendirian dan prinsip hidup yang sangat kuat, sayangnya kelewat tak perduli dengan apa yang tidak sejalan dengan pemikirannya.
"Ehmmm, tidak ada..." aku menjawab dan suasana kembali dalam diam untuk beberapa saat.
Pikiranku menerawang tentang masa-masa ketika kami masih satu sekolah dulu, hari-hariku hampir selalu dihabiskan bersamanya. Aku benar-benar kehilangan sosoknya ketika harus pindah keluar kota karena resiko pekerjaan ayahku. Tanpa kusadari, lamunanku tak sengaja membawa tatapanku mengarah padanya.
"Aku bukan tukang marah..!!" tiba-tiba kata-kata Dika memecah kesunyian, "Dan jangan pernah lagi membuat aku merasa tidak penting seperti tadi"
Apa? tidak penting? kenapa dia bisa berfikiran seperti itu? apa kau tahu seberapa pentingnya melihat responmu secara langsung buatku. Aku hanya diam tak memberi komentar, aku bingung menjelaskannya. Aku menyeruput minumanku sambil melirik ke arah samping menutupi kekesalanku.
"Sore nanti kita ke beringin kembar di alun-alun selatan keraton saja ya, setelah ini kita jalan-jalan saja di malioboro, siapa tahu ada barang-barang menarik yang bisa kubeli dan kujadikan oleh-oleh", Dika melanjutkan perkataannya seolah tak pernah ada masalah, "Nanti malam kamu tidak perlu mengantarku kembali ke Solo, aku tak suka melihatmu naik motor sendirian dengan jarak yang lumayan jauh, aku naik kereta saja, lagi pula kamu besok harus kerja kan?"
Aku suka kalau dia sudah mulai cerewet seperti ini, kerutan-kerutan dikeningnya, alisnya yang sedikit terangkat dan ekspresi wajahnya yang seolah emosi ketika kutanggapi semua ceramahnya dengan santai. Tapi kenapa harus membahas itu sekarang, aku tak suka membahas perpisahan ketika rasa bahagia ini mulai bermunculan.
"Terserah kamu saja, aku sih tak keberatan kalau harus mengantar kamu lagi ke solo" jawabku.
"Tidak...!!"
"iya... iya... baiklah kalau itu maumu, terserah kamu saja" aku kecewa, percuma saja terus memaksa, tuan pemarah cerewet ini tidak akan bisa berubah jika sudah mengambil keputusan.

Yogyakarta, 15:25 Menjelang Sore
Hampir dua jam kami menelusuri sepanjang jalan malioboro, melihat-lihat barang yang dijajakkan oleh para pedagang. Tapi tak sedikitpun kaki ini merasa lelah, tak ada hari yang tidak luar biasa bersamanya. Selalu ada saja tingkahnya yang membuatku tertawa, dia tak ubahnya cuaca yang sulit ditebak, mendung berubah cerah atau cerah berubah mendung, hanya dia dan Tuhan yang tahu persis kapan perubahan itu terjadi. Aku tahu dia tak pernah benar-benar marah padaku, dia hanya khawatir. Sosok orang yang selalu ada untuk sahabatnya, hanya sahabat sayangnya.
"Kamu punya hobi baru ya sekarang?" Dika menyentil keningku, membuyarkan lamunanku dan bertanya dengan nada menggoda.
"Ah, maksutmu?"
"Apa sih yang ada dalam lamunanmu?"
Aku terdiam, bingung untuk sesaat, "Ah tidak tidak, tidak ada... Gimana, sudah ada barang yang menarik perhatianmu?"
"Iniii...!!" Dika mengacungkan beberapa slayer batik dan menyodorkannya padaku.
"Pilihan yang bagus" jawabku sambil melempar senyuman padanya.
Dika membeli beberapa slayer batik untuk buah tangan teman-temannya di Jakarta. Kami melanjutkan berjalan menelusuri jalan malioboro sampai pelataran Monumen Serangan Oemum dan duduk dikursi taman yang memang tersedia disepanjang jalan, sambil meminum es teh yang baru saja kami beli. Dalam obrolan ringan kami, sesekali mengomentari pejalan kaki atau orang-orang yang sedang berkendara yang seliweran di depan tempat kami duduk.
"Ki, nanti kita ke alun-alun naik becak yah, motormu biar parkir di malioboro saja"
"Kenapa, kamu capek?"
"Ah, tidak, hanya ingin lebih menikmati suasana kota saja"
"Gaya kamu, kayak ga pernak kesini saja"
"Belum, belum pernah di kota ini naik becak, berdua kamu hahaha..."
Kami tertawa, sampai beberapa orang disekitar menoleh ke arah kami. Aku ingin seperti ini, terus bersamanya.
"Oke, sepertinya menarik. Tapi, nanti malam kita lesehan dekat tugu Jogja ya", jawabku "Aku sering lesehan disana dengan teman-temanku sepulang dari jam kantor"
"Siap tuan putri, hamba bersedia menemani kemanapun tuan putri mau"
"Hahaha... bisa aja kamu... sudah sudah. Yuk, kita ke alun-alun sekarang", ajakku sambil menarik lengannya.

Yogyakarta, 16:22 Sore Hari
Kami menaiki sebuah becak menuju alun-alun selatan keraton Yogyakarta. Seorang laki-laki paruh baya berpenampilan sederhana mengayuh becak dengan gagahnya seolah tanpa beban. Iya tersenyum ramah sepanjang perjalanan melihat tingkah kami yang begitu akrab.
"Sudah berapa kali mba ke Jogja?", tanya bapak itu.
"Ehm, kebetulan saya bekerja disini sudah hampir dua bulan pak"
"Wallaaaaaahhh.. kalo masnya?"
"Saya hanya berlibur ke tempat nenek saya di Solo, jadi kami sempatkan diri untuk bertemu tadi pagi"
"Jadi cuma berdua saja ya mas jalan-jalannya? wahh, masnya ini romantis betul ya" komentar bapak itu sambil senyum-senyum kearah kami.
"Ah bapak, kami cuma sahabatan ko pak..!!" sambarku.
"Iya mba, sekarang sahabat, tapi kalau nanti sore tiba-tiba masnya minta mba untuk jadi pacarnya, siapa yang tahu?", balas bapak itu semakin melantur "Bapak ambil jalan memutar ya, kita lewat jalan yang menelusuri lorong-lorong tembok keraton, biar suasananya lebih romantis", tanpa disadari wajahku mulai memerah, mendengar kalimat terakhir dari si bapak yang masih dengan santai mengayuh becaknya "Tenang saja, bapak nda akan minta tambahan ongkos ko, bapak hanya senang, setiap membawa pelanggan-pelanggan muda yang hatinya sedang ditumbuhi bunga-bunga asmara"
Aku hanya tertawa mendengar celotehan-celotehan si bapak yang sekarang mulai bersenandung tembang jawa yang mendayu-dayu. Entahlah, aku seperti terbawa suasana, aku jadi merasa sedikit malu untuk memulai pembicaraan kembali dengan Dika dan sepertinya dia juga sedang mengalami hal yang sama. Tak sengaja aku seperti melihat gerakan dari sudut mata Dika ketika matanya melirik mencuri-curi pandang ke arahku.
Bapak itu benar, suasana lingkungan di lorong keraton ini begitu tenang, cocok memang untuk dua orang anak manusia yang sedang di mabuk asmara. Sayangnya kami hanya saling terdiam sepanjang sisa perjalanan menuju alun-alun. Tak tahu kenapa aku dan Dika jadi merasa canggung satu sama lain. Bukan perasaan sedih atau marah kali ini yang kubaca dari ekspresi wajah seorang Dika, tapi lebih menyiratkan sebuah perasaan bahagia. Ada segaris senyum tipis dari sudut bibirnya yang ia coba sembunyikan.
Dalam diam, tiba-tiba Dika menggenggam tanganku, tak pernah sedikitpun terpikirkan olehku, kalau aku akan mendapatkan perlakuan seperti ini darinya. Kebahagiaanku memuncak tak terbendung, kubalas genggaman tangannya dengan sebuah sandaran manja dipundaknya. Tanpa kusadari mataku berkaca-kaca, tak sanggup menahan luapan emosi yang sedang kurasakan. Ini yang kuharapkan sejak dulu, tapi aku terlalu takut kehilangan dirinya dibandingkan harus memilikinya.
Tiba-tiba handphone ku bergetar, ada telphone masuk dari seseorang. Ku baca nama yang muncul di layar handphone, ada seperti sengatan aneh yang kurasakan di dalam dadaku. Rasanya begitu sesak, seperti ada sesuatu yang menekan dan meninggalkan bekas. Aku hanya bisa menatap diam ke arah layar handphone, air mataku kini mengalir tak terbendung, batinku berbisik "Tak seharusnya ini terjadi". Isakan-isakan kecil mulai terdengar dari tangisanku, membuat Dika menoleh karenanya. Aku tak sanggup menatap matanya, aku merasa bersalah pada diriku sendiri, tapi semuanya terlambat, bahagiaku kini berlapis kesedihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar