Solo, 04:10 Dini Hari
Aku mengirim pesan kepada sahabatku melalui pesan singkat, memberinya kabar mengenai posisiku sekarang. Tak penting memang, tapi apa salahnya memberitahukan keberadaanku kepada sahabat sendiri. Namanya Nuki, aku sudah mengenalnya sejak masuk Sekolah Menengah Pertama, gadis periang dan keras kepala, namun ada sisi kerapuhan pada dirinya.
Nuki terpaksa harus pindah sekolah saat memasuki tahun ke-3 Sekolah Menengah Atas, Ayahnya dipindah tugaskan bekerja di kota Magetan, Jawa Timur. Sehingga memaksa dia dan keluarganya untuk ikut pindah ke kota dimana Ayahnya ditugaskan.
Jarak dari Magetan ke Solo cukup jauh memang, mengingat dua kota tersebut berada di dua provinsi yang berbeda. aku tak banyak berharap ketika mengirim pesan singkat tersebut, mungkin karena aku yang terlalu sering dan mulai terbiasa memberinya kabar setiap kegiatanku sejak mengenalnya, begitupun sebaliknya.
Terakhir kami bertemu sekitar tiga bulan yang lalu di Jogjakarta, meski sekarang jarak tempat kami tinggal sudah terpisah jauh, kami masih saja sering bertemu sekedar untuk melepas rindu, hampir dua sampai tiga kali setiap tahunnya di kota Jogja atau Solo.
Jika kalian berfikir aku dan Nuki berpacaran jawabannya tidak, hubungan kami sekedar sahabat. Hanya saja kebetulan Nuki kuliah dikota yang sama dengan kampung halaman Ayahku, dan baru saja menyelesaikan kuliahnya tahun lalu, kami hanya sekedar sahabat, setidaknya sejauh ini aku berfikiran seperti itu.
Kedatanganku kali ini memang cukup mendadak, mengingat aku dan kedua orang tuaku baru membicarakannya kemarin malam, ayah bilang rindu dengan nenek yang sudah hampir dua tahun ini tidak bertemu. Dan hasil pembicaraan malam itu adalah pagi ini kami berada di kota Solo.
Kami menaiki sebuah delman menuju desa dimana rumah nenek serta anak bungsunya tinggal, jaraknya tidak terlalu jauh dari stasiun, mengingat laju delman yang tidak terlalu kencang. Sekitar dua puluh menit kami sampai di desa yang kami tuju.
"Kulonuwon.." Mamah memberi salam dengan bahasa daerah setempat sembari mengetuk pintu rumah yang masih tertutup rapat.
"Kuloonuwoonn.." sekali lagi mamah mengulangi salamnya karena belum juga ada jawaban dari dalam rumah. "Kulloonnuuwwooonn.."
"Monggooo.." Terdengar jawaban dari dalam rumah, suara laki-laki berumur sekitar 40 tahunan dengan nada suara sedikit berat, karena baru saja terbangun dari tidur nyenyaknya.
*Klik.. Klik..* Suara kunci pintu di putar dua kali dan tak lama perlahan pintu terbuka. "Wallaaahhh.. mas, knapa nda bilang-bilang kalau mau datang, biar aku bisa jemput ke stasiun" Sambut laki-laki itu dengan ekspresi sedikit terkejut dan logat bahasa jawanya yang kental.
"Tidak apa-apa Yani, kami sengaja tidak memberi kalian kabar terlebih dahulu, ingin memberi kejutan, gimana kabar ibu dan keluargamu?"
"Baik mas baik, kabar disini semua baik-baik, ayo mari-mari masuk" paman dengan cekatan menyambar tas yang kami bawa, kemudian meraih tangan ayah dan menciumnya.
Kami semua memasuki rumah sederhana tersebut, rumah dimana dulu ayahku dibesarkan dan menghabiskan masa kecilnya. Terasa sekali kehangatan yang tersirat dari tiap sudut rumah.
"Buuu.. ini ada si mas datang, bangunkan si mbok dan anak-anak.." paman membangunkan bibi dari tidurnya, sambil meletakkan tas di atas meja ruang tamu.
Kontan saja suasana haru penuh bahagia terpampang dihadapanku, pelukan-pelukan hangat dan rasa rindu tak tergambarkan dari tiap kata dan pandangan mata, melepas kerinduan yang telah terpendam selama hampir dua tahun. Rumah ini kini dihuni oleh nenek dan keluarga kecil pamanku. Yani namanya, paman memiliki seorang istri yang cantik dan ramah khas wanita Solo, dan tiga orang anaknya Tiwi, Sona dan Yona .
Sejak dulu aku dekat dengan bibiku, setiap berkunjung kesini aku seperti berada di rumahku sendiri. Paman dan bibi tidak pernah membedakan sikap antara aku dan ketiga anaknya, entah karena lelah atau rindu, pagi itu aku tertidur di pangkuannya.
Solo, 08:25 Pagi Hari
"Mas Dika.. bangun, ada temanmu datang di depan"
"Teman? siapa bi, aku tak punya teman disini?" rupanya aku benar-benar terlelap, sampai pangkuan berubah jadi sebuah bantal saja aku tidak sadar, "dimana ayah dan mamah bi?"
"Mereka lagi ngobrol dengan gadis manis yang menunggumu di teras depan rumah"
Gadis manis? entah siapa yang datang dan menungguku, aku tak kunjung mendatanginya, malah sibuk mencari handphone dan memeriksa pesan masuk. Tidak ada balasan dari Nuki, mungkin dia sibuk, hingga tak sempat membalas pesan singkat yang ku kirim. Aku berjalan ke teras depan rumah, tak tertarik, karena tak tahu siapa yang sudah datang dan menggangu tidurku.
"Hei jelek, udah jam brapa nih, teganya bikin aku nunggu, kasian mamah dan ayahmu sampai-sampai harus menemaniku ngobrol" gadis itu langsung menghujaniku dengan kata-katanya tanpa jeda.
Aku terpaku sepersekian detik, hampir tidak yakin dengan gadis yang menyapaku barusan. Mungkin kalau kami tidak saling mengenal dekat satu sama lain, dia tidak akan menyadarinya.
"Om dan tante masuk dulu yah, sudah ada Dika, jangan sungkan disini, anggap saja rumah sendiri" mamah mengalihkan rentetan kata-kata yang ditujukan untukku tadi.
Aku mengambil posisi duduk disebelahnya, tempat dimana tadi mamah berada.
"Masi ingat rupanya kamu jalan kesini, naik apa barusan, pagi banget, ganggu orang lagi tidur aja, ga bisa di tunda dulu ya datangnya?" gadis itu hanya menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan senyuman tipis, "Hei, aku lagi nanya kamu, kenapa malah senyum-senyum?"
"Aku suka tiap liat wajah kaget kamu seperti tadi..!!"
"Kaget?" jelas aku kaget, dia tidak menjawab pesan singkat yang ku kirim, sekarang malah sudah berada di hadapanku. Dan lebih kaget lagi, ketika dia bilang mengendarai motor seorang diri dari kota tempat dia tinggal.
"Ga usah panik gitu, buktinya aku ga kenapa-napakan, aku disini, duduk disamping kamu sekarang" kembali senyum tipis tersungging dari bibirnya.
Aku sedikit marah dengan tingkah lakunya kali ini, tapi percuma saja aku menceramahinya berulang-ulang, toh dia sudah melakukannya.
Solo, 10:15 Menjelang Siang
Aku dan Nuki berencana untuk jalan-jalan di Yogyakarta dengan mengendarai motor yang di bawanya siang ini, perjalanan kami tempuh kurang lebih 1 jam 30 menit. Sepanjang perjalanan masing-masing dari kami bercerita banyak tentang kegiatan kami selama tiga bulan terakhir, mulai dari hal-hal yang menarik hingga hal-hal yang tidak penting sama sekali. Gadis ini memang selalu penuh kejutan, ada alasan kenapa dia membawa kendaraan sendiri dari kota tempat dia tinggal.
Rupanya Nuki sudah hampir dua bulan ini bekerja di salah satu Bank swasta di Yogyakarta. Dia sengaja membawa kendaraan sendiri untuk operasionalnya selama tinggal disini. Menyesal rasanya memarahi dia panjang lebar pagi tadi, kufikir dia melakukan itu hanya untuk bertemu denganku. Sebuah kesalahan besar memang mengingat hubungan kami yang hanya sekedar sahabat.
"Kenapa baru cerita, kamu ga asik sekarang" komentarku sambil merengut.
"Apa bedanya aku cerita kemarin dan sekarang? aku cuma ga mau dibilang pamer" jawabnya.
"Ya jelas beda dong"
"Aku cuma mau cerita secara langsung aja ko ke kamu, sekedar ingin melihat ekspresi kamu secara langsung apa aku salah?" sanggahnya sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Hening, tak ada komentar dariku untuk pernyataan terakhirnya. Terlanjur malu pada diriku sendiri karena terlalu berharap banyak atas hubungan ini. Kecewa pada perasaanku sendiri karena tidak sepantasnya sebagai sahabat membiarkan rasa itu terus muncul.
Laju motor ku kendarai dengan lambat ketika mulai memasuki pusat kota, karena kami sendiri sebenarnya tidak punya rencana mau kemana persisnya di kota ini. Sampai ketika melewati satu tempat makan yang cukup menarik perhatian kami The House of Raminten. Kamipun memutuskan untuk singgah sejenak, menghilangkan rasa lapar yang mulai terasa.
"Buuu.. ini ada si mas datang, bangunkan si mbok dan anak-anak.." paman membangunkan bibi dari tidurnya, sambil meletakkan tas di atas meja ruang tamu.
Kontan saja suasana haru penuh bahagia terpampang dihadapanku, pelukan-pelukan hangat dan rasa rindu tak tergambarkan dari tiap kata dan pandangan mata, melepas kerinduan yang telah terpendam selama hampir dua tahun. Rumah ini kini dihuni oleh nenek dan keluarga kecil pamanku. Yani namanya, paman memiliki seorang istri yang cantik dan ramah khas wanita Solo, dan tiga orang anaknya Tiwi, Sona dan Yona .
Sejak dulu aku dekat dengan bibiku, setiap berkunjung kesini aku seperti berada di rumahku sendiri. Paman dan bibi tidak pernah membedakan sikap antara aku dan ketiga anaknya, entah karena lelah atau rindu, pagi itu aku tertidur di pangkuannya.
Solo, 08:25 Pagi Hari
"Mas Dika.. bangun, ada temanmu datang di depan"
"Teman? siapa bi, aku tak punya teman disini?" rupanya aku benar-benar terlelap, sampai pangkuan berubah jadi sebuah bantal saja aku tidak sadar, "dimana ayah dan mamah bi?"
"Mereka lagi ngobrol dengan gadis manis yang menunggumu di teras depan rumah"
Gadis manis? entah siapa yang datang dan menungguku, aku tak kunjung mendatanginya, malah sibuk mencari handphone dan memeriksa pesan masuk. Tidak ada balasan dari Nuki, mungkin dia sibuk, hingga tak sempat membalas pesan singkat yang ku kirim. Aku berjalan ke teras depan rumah, tak tertarik, karena tak tahu siapa yang sudah datang dan menggangu tidurku.
"Hei jelek, udah jam brapa nih, teganya bikin aku nunggu, kasian mamah dan ayahmu sampai-sampai harus menemaniku ngobrol" gadis itu langsung menghujaniku dengan kata-katanya tanpa jeda.
Aku terpaku sepersekian detik, hampir tidak yakin dengan gadis yang menyapaku barusan. Mungkin kalau kami tidak saling mengenal dekat satu sama lain, dia tidak akan menyadarinya.
"Om dan tante masuk dulu yah, sudah ada Dika, jangan sungkan disini, anggap saja rumah sendiri" mamah mengalihkan rentetan kata-kata yang ditujukan untukku tadi.
Aku mengambil posisi duduk disebelahnya, tempat dimana tadi mamah berada.
"Masi ingat rupanya kamu jalan kesini, naik apa barusan, pagi banget, ganggu orang lagi tidur aja, ga bisa di tunda dulu ya datangnya?" gadis itu hanya menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan senyuman tipis, "Hei, aku lagi nanya kamu, kenapa malah senyum-senyum?"
"Aku suka tiap liat wajah kaget kamu seperti tadi..!!"
"Kaget?" jelas aku kaget, dia tidak menjawab pesan singkat yang ku kirim, sekarang malah sudah berada di hadapanku. Dan lebih kaget lagi, ketika dia bilang mengendarai motor seorang diri dari kota tempat dia tinggal.
"Ga usah panik gitu, buktinya aku ga kenapa-napakan, aku disini, duduk disamping kamu sekarang" kembali senyum tipis tersungging dari bibirnya.
Aku sedikit marah dengan tingkah lakunya kali ini, tapi percuma saja aku menceramahinya berulang-ulang, toh dia sudah melakukannya.
Solo, 10:15 Menjelang Siang

Rupanya Nuki sudah hampir dua bulan ini bekerja di salah satu Bank swasta di Yogyakarta. Dia sengaja membawa kendaraan sendiri untuk operasionalnya selama tinggal disini. Menyesal rasanya memarahi dia panjang lebar pagi tadi, kufikir dia melakukan itu hanya untuk bertemu denganku. Sebuah kesalahan besar memang mengingat hubungan kami yang hanya sekedar sahabat.
"Kenapa baru cerita, kamu ga asik sekarang" komentarku sambil merengut.
"Apa bedanya aku cerita kemarin dan sekarang? aku cuma ga mau dibilang pamer" jawabnya.
"Ya jelas beda dong"
"Aku cuma mau cerita secara langsung aja ko ke kamu, sekedar ingin melihat ekspresi kamu secara langsung apa aku salah?" sanggahnya sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Hening, tak ada komentar dariku untuk pernyataan terakhirnya. Terlanjur malu pada diriku sendiri karena terlalu berharap banyak atas hubungan ini. Kecewa pada perasaanku sendiri karena tidak sepantasnya sebagai sahabat membiarkan rasa itu terus muncul.
Laju motor ku kendarai dengan lambat ketika mulai memasuki pusat kota, karena kami sendiri sebenarnya tidak punya rencana mau kemana persisnya di kota ini. Sampai ketika melewati satu tempat makan yang cukup menarik perhatian kami The House of Raminten. Kamipun memutuskan untuk singgah sejenak, menghilangkan rasa lapar yang mulai terasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar