Gambar

Gambar
Izinkan saya berbagi tentang kisah saya dan mereka..!!

Jumat, 06 Desember 2013

Forevermore - Part.3

Yogyakarta, 17:05 Menjelang Sore
Aku tak pernah sanggup melihat matanya terlalu basah, aku tahu yang sedang kulakukan ini salah. Ku lepas genggaman tanganku, ku raih dagunya dan ku angkat agar wajahnya mengarah padaku. Tatapan matanya menyiratkan beban yang begitu berat, aku tak mengerti apa yang harus kulakukan agar dapat melepas beban itu. Ku hapus air mata Nuki yang mulai mengalir tanpa henti, suara isaknya begitu menyayat perasaanku.
"Maaf..." Kata itu meluncur begitu saja dari bibirku tanpa pernah kuperintah sebelumnya. Sangat ingin aku memeluknya, membuatnya merasa tenang dan senyaman mungkin, tapi aku justru terlalu takut malah akan membuat air matanya semakin mengalir deras.
Nuki menggelengkan kepalanya dua kali dengan amat sangat perlahan, tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Hanya getaran-getaran tak terkendali yang terlihat dari sudut bibirnya yang kini tampak terlihat pucat. Ia memalingkan wajah sambil membenarkan letak duduknya. Suasana kembali dalam diam selama sisa perjalanan, hanya suara senandung tembang-tembang jawa dari sosok laki-laki paruh baya yang sejak tadi seperti tidak pernah merasa lelah mengayuh becaknya.
Aku tahu persis siapa orang yang telah menghubungi Nuki barusan, walaupun Nuki tidak memberitahukanku. Tak banyak orang yang mampu membuatnya melepas butiran-butiran tetes air dari pelupuk matanya. Seperti ada sengatan aneh yang menjalar ke seluruh tubuh ini, ketika aku harus menerima kenyataan yang sebenarnya. Otakku terus berputar mencari cara untuk mengabaikannya, tapi tetap saja suatu hari nanti aku harus siap menghadapinya.
Tak seperti biasanya aku seperti ini, bersikap seolah tanpa kendali. Begitu menyesal atas sikapku sendiri, seolah merusak saat-saat berhargaku bersama Nuki, yang seharusnya bisa ku isi dengan penuh canda dan tawa. Aku seperti tak mampu menggerakkan tubuhku, semua terasa kaku. Aku hanya bisa terdiam, menyalahkan sikapku yang terlihat merusak segalanya.
Becak yang kami tumpangi sampai di tepian alun-alun, tak ada gerakan dari aku dan Nuki, "Mas... Mba... sudah sampai..!!" Suara bapak tukang becak memecah keheningan kami berdua. Aku hanya merespon dengan melirik ke arah Nuki yang juga belum menunjukan gerakan dari posisinya.
"Wah... sudah sampai yah..." Nuki menjawab, sedikit membuatku merasa terkejut. Nada suaranya seolah tak pernah terjadi apa-apa, aku bingung bagaimana caranya ia bisa melakukan semua ini.
Si bapak tukang becak sedikit mengangkat sisi bagian belakang becaknya, agar memudahkan kami turun. Nuki mendahuluiku menuruninya, sedikit berjingkat layaknya anak kecil yang sedang bersuka cita.
"Terima kasih banyak sudah mengantar kami pak..." Ucap Nuki dengan nada ceria.
Aku melempar senyum ke arahnya, "Dan terima kasih juga untuk lagu-lagunya" sambungku sedikit menganggukkan kepala "Suara bapak tadi benar-benar membuat kami terbawa suasana".
"Ah mas bisa saja..." Jawab bapak itu sambil memutar arah becaknya membelakangi kami, "Selamat menikmati kota Jogja, saya pamit dulu mas, mba..." Katanya lagi, kembali bersenandung, meninggakan kami yang masih berdiri memperhatikannya untuk beberapa saat.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan disini?" Nuki menyikut pelan pinggangku dengan sikunya, berusaha mencairkan kembali suasana kaku yang tadi sempat terjadi.
"ehmm kesana..." Jawabku sambil menunjuk kearah pohon beringin kembar di tengah alun-alun, masih dengan nada sedikit datar, "Aku penasaran dengan mitosnya, jadi kupikir apa salahnya kalau kita mencoba".
"Wahhh boleh juga" Respon Nuki kelewat antusias, kepura-puraannya sedikit terlihat "Ayo, aku juga belum pernah mencobanya" Nuki menarik lenganku dengan semangat. Sikapnya masih berusaha menutupi, seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Yogyakarta, 17:25 Sore Hari
Aku dan Nuki berjalan beriringan menuju sisi tengah alun-alun, kami mencoba mitos yang sudah sering kami dengar tentang pohon beringin kembar yang berada di tengah alun-alun selatan keraton Yogyakarta. Konon katanya, jika kita berhasil berjalan di antara kedua pohon beringin kembar tersebut dengan menutup mata, keinginan dan harapan kita akan segera terkabul.
Aku menyewa penutup mata yang banyak dijajakkan disekitar alun-alun. Percobaan pertama dan keduaku gagal, entah kenapa ketika berjalan langkahku malah berbalik arah menjauhi pohon beringin kembar tersebut. Rasa penasaranku semakin menjadi, aku kembali mencoba untuk ketiga kalinya. Usahaku membuahkan hasil, aku berhasil berjalan diantara pohon beringin kembar, meski tidak persis berada ditengahnya.
Tiba giliran Nuki yang mencobanya, percobaan pertamanya benar-benar gagal total, Nuki menabrak seorang pedagang keliling yang sedang melintas. Aku tertawa terbahak melihatnya, bukan mencoba memberinya peringatan malah sengaja membiarkannya. Nuki salah tingkah, dia melepas penutup matanya dan melepaskan tatapan sinis padaku "Tega..!!" Ucapnya sambil melempar penutup matanya kearahku, "Aku ga mau mencobanya lagi" ia berjalan sedikit berlari melewatiku yang masih berusaha menahan tawa.
"Hehehe... iya maaf, aku kan cuma bercanda" Sanggahku.
"Tapi itu tadi ga lucu..!!"
"Iya iya, aku kan sudah minta maaf" Aku ikut berlari-lari kecil mengimbangi langkah kaki Nuki.
"Kamu ga ngerasain sih, gimana rasanya tadi jadi perhatian orang banyak".
Aku tidak menjawabnya, yang dapat kulakukan hanya memberinya ekspresi aneh menahan tawa dengan memamerkan barisan gigi bagian depanku.
Tanpa kami sadari kami berjalan menuju deretan sepeda yang berjajar rapih ditepian alun-alun. Tiap-tiap sepeda terdapat lampu warna-warni menyala dengan indah pada bagian sisi-sisinya. Sepertinya sang pemilik sepeda sudah memodifikasi sepedanya agar dapat ditumpangi oleh dua orang atau lebih. Ada papan yang menunjukkan harga tertentu untuk tiap kapasitas, rupanya sepeda-sepeda tersebut disewakan.
Nuki menghentikan langkah kakinya, "Oke aku maafin, tapi aku mau naik itu" Sambil menarik lengan bajuku dan menunjuk salah satu sisi tepian alun-alun.
Syarat yang terlalu mudah fikirku, aku berpura-pura menunjukkan ekspresi keberatan, mengacak-acak rambutku sendiri dengan sebelah tangan yang terbebas dari pelukan Nuki yang semakin frontal menarik-narik lengan bajuku. 
"Ayooo... ga usah pake mikir kenapa sih..!!" Nuki kembali mengulangi permintaannya.
Hampir satu jam lamanya kami bermain sepeda, menyusuri jalan yang mengitari alun-alun selatan keraton Yogyakarta. Aku dan Nuki bersepeda ria dengan sesekali di iringi gelak dan tawa, mencoba menyeimbangkan sepeda yang kami naiki bersama, rupanya tak semudah yang kufikirkan.
Sebuah obrolan ringan kembali terjadi diantara canda dan tawa, membuat otakku sedikit berfikir jauh kedepan, meninggalkan rasa nyaman yang sedang kurasakan saat ini.
"Dika..."
"Yaa..." Aku sedikit menoleh merespon panggilannya dengan sedikit tersenyum.
"Aku belum pernah mendengarmu membicarakan soal pernikahan, kenapa?" Tanya Nuki.
"Ah, aku? kenapa ya? mungkin karena memang belum terpikirkan saja olehku" Pertanyaannya mengaburkan senyumku seketika. "Kau sendiri?" Aku balik bertanya.
"Mulai kepikiran sih, tapiii..."
Ada jeda yang cukup lama ketika dia akan menjawab pertanyaanku, sedikit membuatku penasaran akan jawabannya. Kuputuskan untuk tidak mengetahuinya sama sekali, "Aaahhh... sudahlah, jangan bahas masalah seperti itu sekarang", potongku "ehmm... sepertinya aku mulai lapar, gimana kalau kita ke tugu sekarang saja?" Aku mencoba mengalihkan perhatian.
Nuki menganggukan kepalanya tanda setuju, tanpa ada kata yang keluar dari bibirnya, mungkin dia masih memikirkan pertanyaan yang balik kuajukan padanya.

Yogyakarta, 18:51 Menjelang Malam
Kami kembali menaiki sebuah becak menuju tugu jogja, entah kenapa Nuki lebih memilih tempat ini untuk makan malam kami. Aku menyetujuinya begitu saja ketika dia memintanya, tak penting dimanapun kami makan malam pikirku, yang terpenting sekarang adalah dia berada disampingku, begitu dekat dengaku.
Aku begitu terhanyut dalam suasana hari ini, emosi yang meletup-letup dengan mudahnya berubah menjadi sebuah canda, butiran air mata yang menetes dapat dengan cepat berganti menjadi sebuah tawa.
Aku begitu mengenal Nuki tapi tak begitu memahami isi hatinya, terlebih lagi tentangku. Terkadang aku merasa, kalau justru sebenarnya aku sedang berpura-pura untuk tidak memahami isi hatinya. Ada begitu banyak petunjuk, meski bukan dalam kata yang dia berikan tentang isi hatinya. Tapi aku menolak, meskipun terkadang aku juga bersikap sama bodoh dengannya, memberikan sinyal yang sama, juga bukan dalam kata. Kupikir Nuki mengerti maksut dari ini semua, aku yakin Nuki paham dengan apa yang telah kami lakukan. Semua tanda, petunjuk, sikap, gelagat, sinyal atau entah apapun itu dengan berat kami abaikan. Lagi-lagi tanpa kata, diantara kami seperti ada perjanjian tak tertulis, tak boleh membiarkan ini semua terjadi. 
Kami tiba di tempat yang kami tuju, gerobak-gerobak nasi kucing berjajar sepanjang jalan. Begitupun para pembelinya, memilih tempat duduknya masing-masing, lesehan diatas tikar-tikar yang sudah disediakan didepan pelataran toko atau trotoar jalan. Kami menempati salah satu tikar yang masih kosong dengan membawa makanan dan minuman yang sudah kami pesan sebelumnya. Duduk bersebelahan menghadap jalan melihat lampu-lampu temaram kota Jogja yang bersinar oranye.
Salah seorang pengamen mendekati kami, menyapa Nuki dengan ramahnya, "Loh... Mba Nuki, sama siapa mba?"
"Eh, mas Joe... Kenalkan ini sahabatku dari Jakarta, Dika" Jawab Nuki.
"Oow... ini toh yang namanya mas Dika yang sering mba ceritakan" Pengamen laki-laki yang Nuki sebut namanya mas Joe itu menyodorkan tangan kanannya kearahku.
"Dika..." Aku menyambut dan menjabat tangannya sembari menganggukkan kepala, "Wah, Nuki sudah cerita apa saja tentang saya mas?" Tanyaku sambil melemparkan senyum ramah.
"Banyak mas, hampir tiap kita ketemu selalu saja ada pembahasan tentang mas Dika" Jawabnya.
Aku mengalihkan pandanganku kearah Nuki, menatapnya dengan sedikit rasa penasaran, dia hanya membalasnya dengan sikap acuh seperti tak memperhatikan.
"Kalau mau ngobrol nanti saja, kasian mas Joe, rejekinya tertunda gara-gara ngobrol sama kamu" Sela Nuki.
"Hehe, nda papa mba, cuma ngobrol sedikit ko" jawab mas Joe, "Ya sudah dari pada saya yang malah jadi mengganggu, mba Nuki dan mas Dika mau request lagu apa?" Tanyanya lagi.
"Lagu yang biasanya saja mas..!!" Sambar Nuki dengan cepat.
Senyum simpul tanpa komentar terukir dibibir mas Joe yang mulai memainkan gitarnya melantunkan lagu 'Pergilah Kasih' yang dipopulerkan ulang oleh d'masiv.
Entah kenapa tiba-tiba saja lirik lagu tersebut membuatku tersentuh, padahal sudah pernah kudengar sebelumnya, bahkan lebih dari sekedar sering. Mas Joe membawakan lagu tersebut dengan begitu lirih, sambil sesekali tersenyum kearah kami bergantian. Keyakinan ini semakin menguat, tapi semakin kuat pula aku harus menolaknya.
Selepas makan malam kami singgah sejenak di tugu Jogja, mengambil beberapa gambar untuk kenang-kenangan. Dari sana kami melanjutkan berjalan kaki menuju stasiun kereta, rencananya Nuki akan mengantarku sampai stasiun. Perjalanan menuju stasiun terasa begitu lama, tak tahu kenapa tiba-tiba saja kami seperti kehabisan bahan untuk saling berkata. Sekali lagi aku dan Nuki akan terpisah oleh jarak, entah kapan, bisa atau tidak kami akan bertemu kembali seperti ini. Memikirkannya membuatku merasa ingin teriak, lagi-lagi hanya diam yang bisa kulakukan.
Kami mulai memasuki pelataran stasiun, kulihat jam tanganku, kedatangan kereta yang akan kunaiki masih kurang 18 menit lagi, "Hey, kamu mau pergi duluan?" Aku mengajukan pertanyaan pada Nuki, "Sudah hampir jam 8 malam, kurasa tak apa jika aku menunggu sendiri saja" Tambahku lagi.
Tak ada jawaban dari Nuki, bahkan menolehpun tidak, kepalanya tertunduk layu, rambutnya yang tergerai menutupi wajahnya. Masih kutunggu responnya untuk beberapa saat, tapi tak kunjung juga ada jawaban yang keluar dari bibirnya.
Kuraih dagunya agar tatapan wajahnya mengarah padaku, Nuki menolak, sekilas kulihat kilasan air mata terpancar dari dua bola matanya. 'Ia menangis' pikirku, tapi kenapa? kesalahan apalagi yang sudah kulakukan? lagi-lagi aku dibuat bingung olehnya, kuraih tangannya, ada sebuah handphone terselip di dalam genggaman tangannya, masih bergetar. Sekali lagi kulihat Nuki menangis karena benda ini, kupastikan rasa penasaranku, kucoba untuk mengambilnya, tapi genggamannya semakin kuat, "Tak apa, aku hanya ingin melihatnya, boleh?" Perlahan Nuki mengendurkan genggaman tangannya.
12 kali panggilan tidak terjawab, aku tersenyum, ku kembalikan handphone itu kepadanya. "Kenapa sedih?" Tanyaku, "Seharusnya kamu bahagia ada orang yang begitu peduli dan mengkhawatirkan dirimu!"
"Bukan itu..." Sambarnya.
"Aku tahu... tak usah kau menangis hanya karena aku Nuki, aku bukan siapa-siapamu, aku hanya sahabatmu, seorang sahabat yang tidak seharusnya membuatmu meneteskan air mata seperti ini".
"Aku hanya..." Satu jariku kutempelkan dibawah pelupuk matanya, menghapus air matanya, membuatnya menghentikan kata-kata yang ingin diucapkan olehnya.
"Tak perlu kau jelaskan, aku mengerti semuanya, aku tak mau membuatmu memilih, dia begitu baik padamu, akupun sudah mengenalnya dengan baik, kurasa dia orang yang pantas untukmu, 5 tahun sudah kalian menjalin hubungan, tak perlu ada yang kau ragukan lagi".
Nuki menengadahkan wajahnya, menatap lekat mataku dalam-dalam, kuharap Nuki tak membaca makna dibalik kata-kataku yang sesungguhnya pengharapan. Air matanya terus mengalir tanpa henti, tak ada lagi yang sanggup kulakukan untuk menghentikannya selain ucapan yang malah membuat air matanya mengalir semakin menjadi.
Kereta yang akan kunaiki sudah memasuki stasiun, suara panggilan untuk para penumpang sudah diperingatkan untuk menaikinya. Ekspresi wajah Nuki semakin gelisah, bibirnya bergetar hebat, terlihat sedikit kedutan diatas alis kanannya menahan emosi. Nuki memelukku, erat, sangat erat, kubalas pelukan hangatnya, "Kuharap ini bukanlah pelukan perpisahan, tapi awal dari segalanya, jangan pernah membuat hatimu ragu, aku yakin kau sendiri sudah memiliki keyakinan dalam hatimu. Kumohon jangan ragu, aku sudah melakukan pilihanku, untuk tidak membiarkanmu memilih. Tolong, jangan buat dirimu menjadi seperti yang kulakukan..." Kulepaskan pelukannya, "Jaga dirimu baik-baik, titip salamku untuknya..." Seperti ada ruang hampa yang tiba-tiba muncul ketika kata-kata itu terucap dari bibirku. Tapi keputusan ini sudah kuambil, tak boleh ada hati lain yang terluka, kupastikan semua rasa yang selama ini terpendam untuk tetap berada didalam lubang yang sama seperti sebelumnya. Aku berbalik melangkah, meninggalkannya tanpa menoleh kembali, sendiri dalam linangan air mata, terdiam diantara emosi yang kembali terpisah oleh jarak.
*   *   *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar