Gambar

Gambar
Izinkan saya berbagi tentang kisah saya dan mereka..!!

Senin, 27 Januari 2014

Watu Tulis


Malam ini aku tertidur diantara sahabat-sahabat petualangku, didalam sebuah bangunan kosong yang kini sudah tidak lagi terawat. Merebahkan badan saling berhimpitan, berusaha menghangatkan badan satu sama lain. Kami mencoba berlindung dari jeritan alam yang sedang melepaskan amarahnya, seolah melampiaskan emosi yang sudah tersimpan entah berapa lama. Aku dan ketujuh sahabatku sedang melakukan perjalanan, sebuah petualangan yang biasa kami lakukan bersama, sebuah perjalanan yang membuat kami merasa begitu dekat dan semakin dekat lebih dari yang kalian bisa bayangkan.

Bangunan yang tak seberapa luas ini melindungi aku dan para sahabat petualangku, menjaga kami dari keganasan alam yang tak pernah sedikitpun kami bayangkan sebelumya. Angin diluar begitu hebat menampar wajah kami, tamparannya yang datang tiba-tiba menghempaskan beberapa sahabatku hingga terjatuh berkali-kali, derasnya hujan membuat langkah kami semakin terasa berat karena basah, kabut yang begitu pekat juga kian menghambat ruang gerak kami, ditambah lagi dinginnya udara yang menusuk kulit, tanpa ampun menyelinap masuk kedalam pelindung yang kami kenakan.

Setidaknya saat ini kami berada ditempat yang aman, kami beruntung bangunan ini masih berdiri dengan kokoh, utuh, meski kondisinya sangat memprihatinkan. Bangunan yang hanya berukuran 3x3 meter ini memiliki dua jendela disisi kanan dan kirinya, salah satu daun jendelanya sudah terlepas, sedangkan pintu berpenutup besinya masih dengan kondisi yang sangat baik. Tapi tempat ini berhasil melindungi kami dari dahsyatnya badai yang sedang terjadi diluar sana.

Ketika kami tiba ditempat ini, sampah plastik serta sisa kayu dan arang bekas perapian bertebaran dimana-mana, belum lagi air yang menggenangi bagian dalam bangunan hingga semata kaki membuat tempat ini terlihat semakin tidak nyaman untuk dijadikan tempat peristirahatan. Tidak ada pilihan lain, lelah dua jam berdiri menunggu badai yang tak juga kunjung reda, kami letakkan ransel carrier kami diatas sebuah tumpukkan batu yang sudah kami susun didepan bangunan, dan menutupnya dengan selembar terpal yang kami bawa, sepakat kami putuskan untuk membersihkan tempat ini. Dengan cekatan kami mengambil posisi masing-masing tanpa ada komando yang diberikan. Naluri kami muncul begitu saja berbagi tugas seolah mengerti langkah apa yang harus kami lakukan.

Aku merobek spanduk yang berada diujung tebing, memanfaatkannya untuk menutupi lubang angin yang berada diatas jendela. Salah satu sahabatku, Ringgo menyeret selembar seng berkarat yang didapatnya dari belakang bangunan, mengaitkannya pada spanduk yang kemudian dipasang sebagai ganti penutup daun jendela yang hilang. Dirga, Jun dan Yoga membuat parit dengan peralatan seadanya agar air yang menggenang didalam bangunan mengalir keluar. Fahri dan Ivan mengambil sisa robekan spanduk dari ujung tebing, menggunakannya sebagai kain pel untuk mengeringkan lantai bagian dalam bangunan setelah selesai membersihkan sampah plastik, kayu dan arang sisa perapian. Sedangkan satu orang sahabatku yang lain, Surya mencoba memperbaiki talang air, agar air yang mengalir dari atap bangunan tidak kembali mengalir ke dalam bangunan.

Kalian pasti akan tersenyum melihat kebersamaan kami, akupun begitu. Aku bersyukur memiliki sahabat seperti mereka, tak ada raut wajah sedih apalagi air mata meski berada dalam tekanan dan situasi sulit seperti ini. Tak ada sedikitpun keluh yang terucap dari bibir mereka, tak ada yang menganggap ini semua sebagai masalah.

Hingga sore menjelang, tak ada siluet kemerahan yang terlihat dari ufuk barat, semua terlihat putih, kabut pekat membatasi jarak pandang. Tempat ini begitu sepi, perlahan tapi pasti gelap malam mulai menyelimuti, sesekali terdengar suara yang membuat bulu kuduk berdiri. Kondisi cuaca yang belum juga kunjung membaik memaksa kami untuk tinggal sementara ditempat ini. Posisi kami berjam-jam jauhnya dari desa terdekat, membuat kami harus berjuang sendiri untuk menghadapi badai ini. Tanpa tahu sampai kapan kondisi ini akan berhenti, tanpa ada alat komunikasi yang bisa digunakan karena ketiadaan sinyal diatas diketinggian 2.896 mdpl tempat kami berada saat ini.

Ransel carrier dan barang bawaan kami letakkan disalah satu sudut dalam bangunan, kami duduk saling berdekatan menggenggam cangkir hangat berisi kopi dan minuman hangat lainnya. Senyum diantara para sahabatku mulai memudar.

Tak ada perbincangan malam itu, semua terdiam, setiap pasang mata menatap kosong. Tak ada satu katapun canda dari seorang Ringgo yang terlontar, tak ada tingkah aneh Fahri yang biasa membuat tawa kami meledak-ledak. Otakku bekerja keras mencari cara agar diam ini berubah menjadi canda dan tawa.

Suara angin di luar sana semakin kencang, menerpa daun jendela dan pintu besi, derasnya suara tetes air hujan yang terjatuh pada selembar seng berkarat, menimbulkan suara bising yang semakin menggetarkan nyali. Kuharap semua ini hanya mimpi, aku melirik kearah Surya, ia pun sedang melirik ke arahku. Pandangan kami beradu, sorot matanya menggambarkan apa yang sedang dia pikirkan. Ia pasti bisa mendengar jantungku yang berdegup kencang, semoga ia tidak melihat lutut dan gigiku yang juga mulai bergemeletuk ngeri, semoga ia tidak mengenali suara nafasku yang mulai terengah-engah.

Mungkin kalian belum pernah merasa sangat ketakutan, tapi percayalah hingga kalian berada dalam situasi seolah ini adalah detik terakhir kalian menghirup udara segar. Rasanya ingin menjerit, lari atau mungkin meratap seolah kalian kehilangan kendali atas pikiran dan diri kalian. Jantungku nyaris copot.

Bosan berada dalam diam, satu persatu sahabatku mulai merebahkan badannya, meringkuk dalam perasaan ngeri yang semakin menjadi. Meskipun mata ini belum merasakan kantuk, aku ikut merebahkan badanku. Ku lihat jam tanganku, 10 jam sudah kami berada di sini.

Mata ini masih tetap terbuka diantara mata yang mulai terpejam, masih berusaha terlihat kering diantara segala yang sejak tadi terlihat basah. Dalam gelapnya malam diantara hempasan angin yang terus menampar-nampar sisi bangunan diluar sana. Aku memandang lekat mata Fahri yang terpejam di sebelahku, terlelap dengan bibir yang terlihat membiru, meringkuk dalam kantung tidurnya, rapat mengenakan jaket, sarung tangan dan kaos kaki berlapis-lapis.

“Tuhan… akankah ini menjadi akhir perjalanan kami.?!” Entah kenapa pertanyaan itu terlintas dibenakku, entah apa jadinya kami tanpa bangunan ini, kantung mataku serasa diremas, menumpahkan semua air yang berada didalamnya. Aku terlalu takut membayangkannya, aku terlalu takut kehilangan senyum dan tawa mereka.

Aku terlelap ketika otakku bekerja memikirkan nasib kami, terjerembab dalam perasaan putus asa yang begitu dalam. Tapi semua lenyap ketika aku terbangun keesokan paginya, ketika aku terbangun dan melihat Surya bersenandung dan bersiul seorang diri. Membuatkan sarapan dan beberapa cangkir kopi untuk kami. Senyum itu kembali muncul, meski badai di luar sana masih belum meredakan amarahnya.

Kembali kulihat jam tanganku, 06:58 itu berarti hampir 18 jam kami tertahan di tempat ini. Surya menyapaku, mengucapkan selamat pagi sambil melempar senyumnya padaku. Ku balas senyumnya, aku bahagia melihat senyumnya kembali, senyum itu memberi harapan baru bagiku. Tapi satu pertanyaannya kembali membuat senyumku memudar, haruskah kami melanjutkan perjalanan ini atau justru sebaliknya?

Aroma kopi hangat membangunkan sahabat-sahabat petualangku dari tidurnya. Entah kenapa suasana pagi ini berbanding terbalik dengan yang semalam. Tak ada lagi wajah-wajah murung sahabatku, terlalu banyak celoteh yang membuat tawa kami bersaing dengan suara angin yang menderu kencang. Kekhawatiran yang kurasakan semalam lenyap, larut diantara harapan yang mulai muncul karena wajah berbalut senyum yang mereka berikan.

Aku tak lagi bingung keputusan apa yang harus ku ambil, aku tak lagi pusing memikirkan kemana kami harus melangkahkan kaki ini. Aku membayangkan rumahku yang terang, membayangkan kamarku yang hangat, betapa bahagianya berada disana. Ingin rasanya cepat kembali kesana, tapi badai di luar sana masih belum juga meredakan aktifitasnya. Entah berapa lama lagi kami harus menunggu di tempat ini. Bayangan kerinduan itu menghadirkan perasaan lain yang sangat asing ketika pertanyaan yang sama kembali terlontar dari Surya.

Kenapa jadi begini? pikirku, kenapa semuanya tergantung padaku?

Aku memandang sahabatku satu persatu, mereka membalas tatapanku penuh harap. Aku tak bisa mengubur semua mimpi dan harapan mereka. Aku mengangguk perlahan, ku ikuti ingin mereka untuk tetap melangkah.

Kami membereskan segala perlengkapan, bersiap untuk kembali melanjutkan perjalanan yang tertunda. Kembali kami langkahkan kaki dengan sebuah harapan baru. Bergelut dengan badai yang masih meronta-ronta meluapkan emosinya. Berjuang bersama untuk mencapai satu tujuan. Kami tinggalkan tempat yang sudah melindungi kami dari kemelut badai yang tak pernah kami perhitungkan sebelumnya. Tak akan pernah bisa kulupakan, tak akan mungkin bisa ku abaikan. Pengalaman berharga yang begitu nyata menguji kebersamaan kami.
 
Watu tulis, menjadi saksi kebersamaan kisahku dan sahabat-sahabat petualangku.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar