Aku mulai rindu diriku yang dulu, sosok aku
yang periang dan penuh dengan canda, selalu mengisi hari-hariku dengan
lawakan-lawakan konyol, berceloteh tentang hal-hal tak penting yang menyeret orang-orang
terdekatku terlarut dalam tawa. Semuanya berubah, ketika kudapati diriku terpuruk
dalam kesendirian, aku terlalu kecewa, kekecewaan yang sering kali membuatku memaki diriku sendiri
dalam diam. Kejujuran yang kukira semula akan membawa kedamaian, justru
berbalik menjadi bumerang yang menghantam bagai palu gada yang meruntuhkan
tembok kebahagiaan yang telah kubangun selama ini.
Aku bosan selalu berada dalam kepura-puraan, aku lelah berperan dalam drama yang kumainkan, aku hanya ingin melepaskan topeng ini, topeng yang kini seolah menjadi bagian dari hidupku. Aku rindu tertawa lepas tanpa ada beban yang bergelayut dalam pikiranku, tersenyum bebas tanpa ada rasa yang mengganjal dalam hatiku.
Aku bosan selalu berada dalam kepura-puraan, aku lelah berperan dalam drama yang kumainkan, aku hanya ingin melepaskan topeng ini, topeng yang kini seolah menjadi bagian dari hidupku. Aku rindu tertawa lepas tanpa ada beban yang bergelayut dalam pikiranku, tersenyum bebas tanpa ada rasa yang mengganjal dalam hatiku.
Tawa ceria seolah lenyap dari hari-hariku, aku
seperti lupa bagaimana caranya tertawa. Senyum yang biasa menghiasi bibirku
entah dimana sekarang dia berada. Hari-hariku kini sering kuhabiskan dalam
diam, tak seperti mereka yang selalu pergi dan berlari dari sang
sepi, aku malah justru mencari dan mengejar dimana sang sepi itu
bersembunyi. Dalam sepi aku bisa mengingatmu, karena sepi aku bisa mengenangmu.
Begitu banyak kenangan yang bisa kusimpan tentangmu dalam ingatanku, kini telah
kubungkus, rapih bersama mimpi, harapan dan topeng di satu tempat dalam hatiku
yang tak akan pernah bisa kuhapus.
Satu tahun baru aku mengenalmu, tapi
terlalu banyak kau tuliskan cerita dalam hidupku. Sayangnya butuh lebih dari satu tahun bagiku
untuk kembali berpura-pura seolah aku tak pernah mengenalmu. Namamu terlalu
dalam tertoreh dalam ingatanku, hingga tak mungkin dengan mudah aku dapat mengabaikan
semua tentangmu. Kuanggap keputusanmu adalah penolakan terindah atas
mimpi-mimpiku, salahku terlalu banyak berharap atas kejujuran ini.
Kuhargai jalan yang kau pilih, walaupun kutahu pasti bukanlah hatimu yang
memilih.
Hari-hariku pernah begitu indah, setelah berhasil
bangkit dari rasa keterpurukan yang begitu dalam karena kehilangan. Tak
kusangka, aku harus merasakannya lagi, tapi setidaknya hari-hariku pernah
indah dan bertambah indah ketika aku mengenalmu. Hari-hariku pernah penuh warna
akan canda berbalut penuh tawa, dan semakin berwarna ketika kau ikut bercanda dan tertawa
bersama didalamnya. Kini, aku mencoba kembali bangkit mencari hari-hariku yang dulu
indah dan akan merubahnya kembali menjadi hari-hari terindah seperti dulu, bahkan
lebih dari setelah aku mengenalmu.
Pertemuan aku denganmu terakhir kali cukup
membuatku terhanyut dalam kebahagiaan, bercerita tentang masa-masa awal
pertemuan dahulu. Satu hari lain penuh canda dan tawa bersamamu, namun ada
batin yang menjerit dan hampir mengoyak topeng yang kupakai selama ini. Kemarin
kau begitu murung, ingin rasanya aku memelukmu, membuatmu merasa lebih baik
dari yang pernah kau rasakan. Aku mencoba menghiburmu dengan bercerita, cerita
tentang pertama kali aku melihatmu di tempat yang telah kutaruh beberapa mimpi-mimpiku
disana.
Gunung Papandayan, di tempat itu aku meletakkan
beberapa mimpiku, mimpi tentang masa depanku, sebagian kecil mimpi tentang apa yang akan kulakukan nanti disana.
Kelak aku ingin mengambil beberapa gambar disana menjelang hari pernikahanku,
bersama seseorang yang nantinya akan menemani sisa hidupku. Tak kusangka aku
bertemu denganmu disana, khayalku melambung jauh seketika, senyum tipis tersimpul di bibirku, membayangkan dirimu
berada di dalam mimpi-mimpiku. Kau begitu manis mengenakan kaos hitam berbalut
jaket putih dengan warna merah muda pada kedua sisi lenganya dalam kegiatan
sosial yang kita ikuti bersama. Aku melihatmu namun tak lantas berkenalan dan
menanyakan namamu, aku terlalu malu melakukannya. Belakangan aku berfikir kalau
itu adalah sebuah kebodohan yang teramat sangat yang telah kulakukan.

Pertemuan kita berlanjut selepas kegiatan
tersebut, sudah banyak teman-teman dekatku yang mengenalmu, tapi tidak sama
halnya denganku. Dua bulan berlalu yang kutahu hanyalah namamu dari seorang sahabat yang kemudian berhubungan dekat dengan adikmu, "Diandra..!!" kupejamkan mata dan kusebut lirih nama
itu. Khayalku kembali bertebaran kesegala arah, menuju mimpi-mimpi yang sejak
dulu kurajut dengan indah, namamu entah mengapa terangkai dengan sendirinya
disana, menempati sisi yang sejak lama kosong. Ketertarikanku akan sosok dirimu
terus tumbuh tanpa pernah kusadari, tapi entah kenapa batinku terus berbisik
untuk menolak perasaan ini, seolah terus memperingatkanku agar tak lepas
kendali. Rupanya hati kecil ini masih belum mampu untuk merasakan kehilangan sekali lagi.
Kuputuskan untuk melepas namamu dari setiap mimpi-mimpiku yang mulai terbiasa
dengan namamu. Hidupku indah dengan segala angan, mimpi dan tanpa namamu.
.
*Aku selalu tersenyum ketika
mengingat masa itu, masa dimana pertama kali aku bertemu denganmu tapi tak
mengenal namamu*.
.
Gunung Guntur, aku dan kamu kembali bertemu dalam
kegiatan sosial lainnya. Kali ini aku sudah mengenalmu, namun dapat kupastikan tak ada namamu
didalam mimpi-mimpiku. Aku memutuskan untuk menempatkan namamu di sisi ruang yang
sama dengan nama-nama lain yang mengisi hari-hariku. Ruang terbuka yang tak
pernah tertutup untuk segala canda dan tawa. Bagian ruang yang pernah kau
sentuh dulu, masih kubiarkan kosong, karena memang tak pernah kubiarkan terbuka sampai hari ini.
Kau duduk tepat didepanku selama perjalanan
menuju lokasi, semua terasa biasa saja awalnya, karena posisimu sekarang sama seperti
mereka yang duduk disamping atau dibelakangku. Semua angan dan mimpi tentangmu
dulu, kuanggap angin lalu yang tak pantas kuharapkan. Aku berganti
mengabaikanmu, bukan membalas, hanya tak ingin semua angan-angan ini kembali
muncul kepermukaan.
Tak butuh waktu lama, kau merusak segalanya,
semua pertahanan yang telah kubuat, kau leburkan tanpa pernah kau sentuh, kau
robohkan tembok pembatas tanpa terkecuali, kau temukan kunci ruang yang
kusembunyikan tanpa pernah mencari, kau buat aku menyerah pada rasa, kau seret
aku terlampau jauh dari zona nyamanku. Tak ada tempat untukku bersembunyi, tak
ada jalan untukku berlari. Aku mulai putus asa ketika kutemukan disatu sudut,
diantara kekacauan yang telah kau lakukan, penolongku, tak bergerak, tercampakkan
bagai benda usang, tapi terlalu berharga untuk kuabaikan. Sebuah topeng, menemani
hari-hariku sejak hari itu, yang berujung pada pilihan sulit lainnya, memaksaku
memainkan drama yang tak pernah ingin kumainkan.
Kau tahu, hari itu aku tertawa lepas tanpa suara
melihatmu. Tertawa dengan apa yang kulihat, kau kenakan slayer biru muda yang kau ikatkan dikepalamu, berbalut jacket merah muda
bergambar emoticon smile kuning besar ditengahnya dan celana training panjang yang kau pakai, kau gulung
selutut, aku masih dapat dengan jelas mengingat kekonyolanmu sampai hari ini dan masih belum mampu menahan tawa ketika harus mengingatnya.
Tanpa keluh kau tapaki selangkah demi selangkah punggungan gunung menuju puncak, dengan sesekali sebuah lolly pop terselip diantara bibirmu. "Oh Diandra... sekali lagi kau guncangkan hati ini tanpa pernah menyentuhnya." Kali itu drama pertama mulai kumainkan, untuk pertama kalinya dengan terpaksa aku harus memainkan sebuah peran, meski kuakui aku tak bisa terus menerus menahan getaran aneh yang semakin mengusik perasaanku ketika dekat denganmu.
Tanpa keluh kau tapaki selangkah demi selangkah punggungan gunung menuju puncak, dengan sesekali sebuah lolly pop terselip diantara bibirmu. "Oh Diandra... sekali lagi kau guncangkan hati ini tanpa pernah menyentuhnya." Kali itu drama pertama mulai kumainkan, untuk pertama kalinya dengan terpaksa aku harus memainkan sebuah peran, meski kuakui aku tak bisa terus menerus menahan getaran aneh yang semakin mengusik perasaanku ketika dekat denganmu.
Sejak hari itu perasaanku semakin menjadi, kucari
berbagai cara untuk bertemu denganmu. Mencari perhatianmu agar kau menoleh
kearahku atau malah menyapaku, tapi tetap bersikap seolah tak ada hati yang
bermain. Tersenyum bahagia tanpa pernah merasa ada hati yang tersayat tanpa luka,
bercanda mengundang tawa namun terselip makna didalamnya. Tanpa pernah kau
sadari semua yang kulakukan adalah drama, sebuah peran yang kumainkan bersama
topeng yang mulai terbiasa kugunakan.
Hidupku indah dengan segala angan, mimpi dan
hadirmu.
.
*Masa tersulitku mengenalmu telah
dimulai, kubiarkan kau masuk dalam kehidupanku, menari-nari di dalam ruang yang
telah lama kubiarkan kosong*
.
Gunung Gede-Pangrango, komunitas kita sekali lagi
sepakat untuk mengadakan pendakian bersama, aku dan kamu kembali ikut terlibat
didalamnya. Aku bahagia bisa kembali merasakannya, menjelajah dataran-dataran
tinggi bersamamu, menapaki jalan yang akan menjadi sebuah cerita dalam kenangan kelak, berada di tempat yang kusukai bersama seseorang yang telah mencuri perhatianku. Jika kamu perhatikan pendakian kali
itu, seharusnya ada yang aneh pada diriku, aku seperti sesuatu entah apa,
terkadang muncul dan tiba-tiba pergi. Kau tahu sebabnya? aku butuh jarak untuk
menenangkan debar jantung dan menghilangkan sengatan aneh yang selalu muncul
ketika didekatmu.
Sayang, cuaca pendakian hari itu kurang
bersahabat, ada salah satu temanmu yang mengalami kelelahan, aku menemanimu membantunya, memberinya waktu untuk memulihkan kembali kondisi fisiknya yang menurun.
Kalau boleh jujur aku lebih berterima kasih kepadanya, bukan karena kondisinya
yang mengalami kelelahan, tapi karena dia aku bisa lebih lama bersamamu, berada begitu dekat denganmu, sangat dekat. Hampir dua jam, tak sadar aku tak memperhatikan kondisi
fisikku sendiri. Aku mulai mengigil disampingmu yang sedang sibuk mengurus
temanmu yang masih lemah diatas pangkuanmu. Jari-jari tanganku mulai kebas,
hampir tak bisa kurasakan lututku sendiri karena dinginnya udara malam itu.
Tanganku mulai bergetar tak terkendali, suara gemeletuk gigiku yang beradu
mulai terdengar, kau menoleh kearahku. Sebelah alismu terangkat memperhatikanku, ada
sekilas ekspresi panik terpancar saat itu, entah untuk siapa kau berikan.

Hidupku indah, dan semakin indah dengan hadirnya
dirimu dalam kehidupanku. Semua mimpiku seolah nyata, terpampang jelas
dihadapanku, sentuhan lembut jari-jarimu memberikan warna baru dalam
kehidupanku, begitu hangat, mengalirkan sesuatu yang tak mampu kujelaskan dengan kata-kata.
Belakangan sering kita bertukar cerita dan
mengenang bersama pendakian hari itu, kau selalu bertanya tentang perjalanan
turun, hanya berdua menuruni setapak demi setapak jalan yang harus kita lewati.
Menanyakanku tentang sikapku yang kelewat diam dan kaku, berdua tanpa kata, tanpa
bicara, bahkan canda. Kau hanya tertawa mendengar semua penjelasanku, aku
memilih berdiam diri ketimbang harus mempermalukan diri. Betapa frustasinya aku
saat berdua denganmu, sekuat tenaga menahan rasa bahagia yang meletup-letup tanpa
kendali. Meski tanpa kata tapi tersirat makna dari setiap apa yang kulakukan,
tanpa bicara namun hadir sebuah asmara didalam hati ini, kutulis sebuah cerita
cinta walau tak ada canda didalamnya.
Hidupku indah dengan segala angan, mimpi dan
cerita tentangmu.
.
*Kumasuki masa-masa terindahku mengenalmu, tak perlu ada kata, biarkan mata dan
hati ini yang bicara, aku bahagia
memiliki cerita bersamamu*
.
Terlalu banyak cerita tentangmu, terlalu lama
drama ini kumainkan, kau tak pernah sadar. Kepalsuan ini terus berlanjut, tapi
aku hanya manusia biasa yang memiliki batas, aku punya hati yang tak sanggup menahan
terlalu lama rasa yang tersimpan. Aku mulai lelah dengan topeng yang kini seolah
menjadi bagian dari diriku, kuakui semua kebohonganku, kupaparkan kepalsuan yang
lama kubuat. Maafkan aku yang tak jujur, menghianati kepercayaan yang kau beri, aku terlalu bodoh telah membiarkan rasa ini terus tumbuh dalam pertemanan ini. Kubuka topengku, kukatakan semua rasaku tentangmu tanpa pernah berharap kau balik membalas dengan rasa yang sama.
Jawabanmu membuatku tercekat dalam diam, bukan kecewa yang kudapat, tapi sebuah cerita yang sama dalam tetesan air mata, menggedor semakin keras perasaan
bersalahku. Dalam isak kau lempar semua amarah yang kau rasa, kau tuturkan semua kata demi kata, kau salahkan waktu bukan aku, kau maafkan semua dusta yang telah kulakukan. Kejujuranku kau balas dengan sebuah pengakuan yang tak pernah mampu kuduga sebelumnya, ada rasa yang sama di dalam hatimu.
Terlambat, sudah ada laki-laki lain yang lebih berani dari pada aku, memintamu untuk melangkah lebih jauh, tak seperti aku yang hanya menyimpan rasa ini dibalik sebuah topeng. Tak pernah kuharapkan sedikitpun balasan atas kejujuranku sebelumnya, tapi tetap saja pengakuanmu membuatku terjatuh kedalam lubang duka yang menganga, membenamkan semua harapanku tentangmu. Sekali lagi batin ini menangis, menjerit diantara luka baru yang terbuka. Salahku yang dulu mengabaikanmu, salahku yang tak berani menari dalam rasa ini lebih awal.
Kuraih topengku kembali, sekali lagi kumainkan sebuah drama dengan cerita berbeda, ku undang kembali senyum dan tawa yang tadi sempat menghilang dariku. Aku bukan siapa-siapamu dan aku tak ingin jadi penghalangmu, kurelakan kau untuk memilih jalanmu, kuikhlaskan kau mengubur semua angan-anganku tentangmu. Hidupku indah dengan segala angan, mimpi dan tanpa dirimu.
Terlambat, sudah ada laki-laki lain yang lebih berani dari pada aku, memintamu untuk melangkah lebih jauh, tak seperti aku yang hanya menyimpan rasa ini dibalik sebuah topeng. Tak pernah kuharapkan sedikitpun balasan atas kejujuranku sebelumnya, tapi tetap saja pengakuanmu membuatku terjatuh kedalam lubang duka yang menganga, membenamkan semua harapanku tentangmu. Sekali lagi batin ini menangis, menjerit diantara luka baru yang terbuka. Salahku yang dulu mengabaikanmu, salahku yang tak berani menari dalam rasa ini lebih awal.
Kuraih topengku kembali, sekali lagi kumainkan sebuah drama dengan cerita berbeda, ku undang kembali senyum dan tawa yang tadi sempat menghilang dariku. Aku bukan siapa-siapamu dan aku tak ingin jadi penghalangmu, kurelakan kau untuk memilih jalanmu, kuikhlaskan kau mengubur semua angan-anganku tentangmu. Hidupku indah dengan segala angan, mimpi dan tanpa dirimu.
.
*Maafkan aku karena tak jujur berteman
denganmu, maafkan aku yang tak pernah sadar tentang rasamu, maafkan aku yang terlambat menyadari semuanya*
.
Akhir-akhir ini kita sering berbagi cerita, kau ingat aku pernah bercerita tentang beberapa
hal yang kusukai, tentang khayalan, mimpi-mimpi masa
kecilku, kebiasaan-kebiasaanku yang menurutmu aneh, tentang ketertarikanku yang berlebihan terhadap sebuah lollypop? Ya, Gunung Guntur, disana aku melihatmu dengan sebatang lollypop terselip dibibirmu. Tak perlu kujelaskan kenapa aku begitu semakin tertarik denganmu, karena mungkin kau sudah bisa mengerti dengan mendengar semua cerita-cerita aneh tentangku.Kejujuran ini awalnya begitu indah, bahkan terlalu manis untuk diceritakan kembali. Aku dan kamu semakin dekat, sering kita habiskan waktu bersama walau hanya sekedar mengobrol hal-hal yang tak penting. Hubungan ini semakin tidak wajar, kurasakan kegelisahan yang membawaku kedalam rasa aneh yang membuatku risih. Ketidak nyamanan ini semakin menjadi ketika kusadari kesalahan yang selama ini kuabaikan. Aku tak ingin menjadi orang ketiga, aku sadar ada orang lain yang akan terluka bila ia mengetahui hubungan ini.
Kau terus mencariku, mencoba menghubungiku, tapi teriakkanmu terus kuabaikan, kututup telingaku rapat-rapat dari jeritanmu yang semakin nyata. Maafkan aku karena telah menghilang dari kehidupanmu disisa waktu yang seharusnya bisa kita habiskan bersama, aku hanya tak sanggup melihatmu meneteskan air mata. Aku tak pantas mendapatkan air matamu, aku tak ingin menjadi ganjalan atas jalan yang telah kau pilih.
Aku masih mampu mengingat dengan jelas semua tentangmu ketika namaku mulai asing dalam ingatanmu. Kusempatkan diri berkunjung ke tempat dimana aku pertama kali melihat senyummu, di bawah pohon ini aku dan kamu duduk begitu dekat tanpa mengenal satu sama lain, disini aku memulai dan harus mengakhiri semua tentangmu. Telah kuputuskan untuk mengakhiri ceritaku bersamamu, kututup rapat semua lembaran tentangmu. Kucoba untuk kembali tersenyum ketika kulepas satu persatu namamu dari mimpi-mimpiku.
Aku bukan kekasihmu, aku tak ingin menjadi penghalang keputusan yang akan kau ambil, aku tak mau menjadi beban atas apa yang sudah kau pilih. Berita tentang dia yang akan melamarmu sudah sampai ketelingaku, kuharap kau mengerti alasanku menghindarimu. Maafkan aku yang tak berani melangkah lebih dulu darinya, tak perlu menyesali semuanya, salahku yang terlambat memulainya. Tersenyumlah meskipun itu akan terasa menyakitkan.

“Selamat menempuh hidup baru… Diandra…!!!”
.
* * *