Malam
ini aku tertidur diantara sahabat-sahabat petualangku, didalam sebuah bangunan
kosong yang kini sudah tidak lagi terawat. Merebahkan badan saling berhimpitan,
berusaha menghangatkan badan satu sama lain. Kami mencoba berlindung dari
jeritan alam yang sedang melepaskan amarahnya, seolah melampiaskan emosi yang sudah
tersimpan entah berapa lama. Aku dan ketujuh sahabatku sedang melakukan
perjalanan, sebuah petualangan yang biasa kami lakukan bersama, sebuah
perjalanan yang membuat kami merasa begitu dekat dan semakin dekat lebih dari
yang kalian bisa bayangkan.
Bangunan
yang tak seberapa luas ini melindungi aku dan para sahabat petualangku, menjaga
kami dari keganasan alam yang tak pernah sedikitpun kami bayangkan sebelumya.
Angin diluar begitu hebat menampar wajah kami, tamparannya yang datang
tiba-tiba menghempaskan beberapa sahabatku hingga terjatuh berkali-kali, derasnya
hujan membuat langkah kami semakin terasa berat karena basah, kabut yang begitu
pekat juga kian menghambat ruang gerak kami, ditambah lagi dinginnya udara yang
menusuk kulit, tanpa ampun menyelinap masuk kedalam pelindung yang kami kenakan.
Setidaknya
saat ini kami berada ditempat yang aman, kami beruntung bangunan ini masih berdiri
dengan kokoh, utuh, meski kondisinya sangat memprihatinkan. Bangunan yang hanya
berukuran 3x3 meter ini memiliki dua jendela disisi kanan dan kirinya, salah
satu daun jendelanya sudah terlepas, sedangkan pintu berpenutup besinya masih
dengan kondisi yang sangat baik. Tapi tempat ini berhasil melindungi kami dari dahsyatnya
badai yang sedang terjadi diluar sana.
Ketika
kami tiba ditempat ini, sampah plastik serta sisa kayu dan arang bekas perapian
bertebaran dimana-mana, belum lagi air yang menggenangi bagian dalam bangunan
hingga semata kaki membuat tempat ini terlihat semakin tidak nyaman untuk
dijadikan tempat peristirahatan. Tidak ada pilihan lain, lelah dua jam berdiri
menunggu badai yang tak juga kunjung reda, kami letakkan ransel carrier kami
diatas sebuah tumpukkan batu yang sudah kami susun didepan bangunan, dan
menutupnya dengan selembar terpal yang kami bawa, sepakat kami putuskan untuk
membersihkan tempat ini. Dengan cekatan kami mengambil posisi masing-masing
tanpa ada komando yang diberikan. Naluri kami muncul begitu saja berbagi tugas seolah
mengerti langkah apa yang harus kami lakukan.
Aku
merobek spanduk yang berada diujung tebing, memanfaatkannya untuk menutupi lubang
angin yang berada diatas jendela. Salah satu sahabatku, Ringgo menyeret
selembar seng berkarat yang didapatnya dari belakang bangunan, mengaitkannya
pada spanduk yang kemudian dipasang sebagai ganti penutup daun jendela yang
hilang. Dirga, Jun dan Yoga membuat
parit dengan peralatan seadanya agar air yang menggenang didalam bangunan
mengalir keluar. Fahri dan Ivan mengambil sisa robekan spanduk dari ujung
tebing, menggunakannya sebagai kain pel untuk mengeringkan lantai bagian dalam bangunan setelah selesai
membersihkan sampah plastik, kayu dan arang sisa perapian. Sedangkan satu orang
sahabatku yang lain, Surya mencoba memperbaiki talang air, agar air yang
mengalir dari atap bangunan tidak kembali mengalir ke dalam bangunan.
Kalian
pasti akan tersenyum melihat kebersamaan kami, akupun begitu. Aku bersyukur
memiliki sahabat seperti mereka, tak ada raut wajah sedih apalagi air mata
meski berada dalam tekanan dan situasi sulit seperti ini. Tak ada sedikitpun
keluh yang terucap dari bibir mereka, tak ada yang menganggap ini semua sebagai
masalah.
Hingga
sore menjelang, tak ada siluet kemerahan yang terlihat dari ufuk barat, semua
terlihat putih, kabut pekat membatasi jarak pandang. Tempat ini begitu sepi, perlahan
tapi pasti gelap malam mulai menyelimuti, sesekali terdengar suara yang membuat
bulu kuduk berdiri. Kondisi cuaca yang belum juga kunjung membaik memaksa kami
untuk tinggal sementara ditempat ini. Posisi kami berjam-jam jauhnya dari desa
terdekat, membuat kami harus berjuang sendiri untuk menghadapi badai ini. Tanpa
tahu sampai kapan kondisi ini akan berhenti, tanpa ada alat komunikasi yang
bisa digunakan karena ketiadaan sinyal diatas diketinggian 2.896 mdpl tempat
kami berada saat ini.
Ransel
carrier dan barang bawaan kami letakkan disalah satu sudut dalam bangunan, kami
duduk saling berdekatan menggenggam cangkir hangat berisi kopi dan minuman
hangat lainnya. Senyum diantara para sahabatku mulai memudar.
Tak
ada perbincangan malam itu, semua terdiam, setiap pasang mata menatap kosong. Tak
ada satu katapun canda dari seorang Ringgo yang terlontar, tak ada tingkah aneh
Fahri yang biasa membuat tawa kami meledak-ledak. Otakku bekerja keras mencari
cara agar diam ini berubah menjadi canda dan tawa.
Suara
angin di luar sana semakin kencang, menerpa daun jendela dan pintu besi, derasnya
suara tetes air hujan yang terjatuh pada selembar seng berkarat, menimbulkan
suara bising yang semakin menggetarkan nyali. Kuharap semua ini hanya mimpi,
aku melirik kearah Surya, ia pun sedang melirik ke arahku. Pandangan kami
beradu, sorot matanya menggambarkan apa yang sedang dia pikirkan. Ia pasti bisa
mendengar jantungku yang berdegup kencang, semoga ia tidak melihat lutut dan
gigiku yang juga mulai bergemeletuk ngeri, semoga ia tidak mengenali suara
nafasku yang mulai terengah-engah.
Mungkin
kalian belum pernah merasa sangat ketakutan, tapi percayalah hingga kalian
berada dalam situasi seolah ini adalah detik terakhir kalian menghirup udara
segar. Rasanya ingin menjerit, lari atau mungkin meratap seolah kalian
kehilangan kendali atas pikiran dan diri kalian. Jantungku nyaris copot.
Bosan
berada dalam diam, satu persatu sahabatku mulai merebahkan badannya, meringkuk
dalam perasaan ngeri yang semakin menjadi. Meskipun mata ini belum merasakan kantuk,
aku ikut merebahkan badanku. Ku lihat jam tanganku, 10 jam sudah kami berada di
sini.
Mata
ini masih tetap terbuka diantara mata yang mulai terpejam, masih berusaha
terlihat kering diantara segala yang sejak tadi terlihat basah. Dalam gelapnya
malam diantara hempasan angin yang terus menampar-nampar sisi bangunan diluar
sana. Aku memandang lekat mata Fahri yang terpejam di sebelahku, terlelap
dengan bibir yang terlihat membiru, meringkuk dalam kantung tidurnya, rapat
mengenakan jaket, sarung tangan dan kaos kaki berlapis-lapis.
“Tuhan…
akankah ini menjadi akhir perjalanan kami.?!” Entah kenapa pertanyaan itu
terlintas dibenakku, entah apa jadinya kami tanpa bangunan ini, kantung mataku
serasa diremas, menumpahkan semua air yang berada didalamnya. Aku terlalu takut
membayangkannya, aku terlalu takut kehilangan senyum dan tawa mereka.
Aku
terlelap ketika otakku bekerja memikirkan nasib kami, terjerembab dalam
perasaan putus asa yang begitu dalam. Tapi semua lenyap ketika aku terbangun
keesokan paginya, ketika aku terbangun dan melihat Surya bersenandung dan
bersiul seorang diri. Membuatkan sarapan dan beberapa cangkir kopi untuk kami. Senyum
itu kembali muncul, meski badai di luar sana masih belum meredakan amarahnya.
Kembali
kulihat jam tanganku, 06:58 itu berarti hampir 18 jam kami tertahan di tempat
ini. Surya menyapaku, mengucapkan selamat pagi sambil melempar senyumnya
padaku. Ku balas senyumnya, aku bahagia melihat senyumnya kembali, senyum itu memberi
harapan baru bagiku. Tapi satu pertanyaannya kembali membuat senyumku memudar,
haruskah kami melanjutkan perjalanan ini atau justru sebaliknya?
Aroma
kopi hangat membangunkan sahabat-sahabat petualangku dari tidurnya. Entah
kenapa suasana pagi ini berbanding terbalik dengan yang semalam. Tak ada lagi
wajah-wajah murung sahabatku, terlalu banyak celoteh yang membuat tawa kami
bersaing dengan suara angin yang menderu kencang. Kekhawatiran yang kurasakan
semalam lenyap, larut diantara harapan yang mulai muncul karena wajah berbalut senyum
yang mereka berikan.
Aku
tak lagi bingung keputusan apa yang harus ku ambil, aku tak lagi pusing
memikirkan kemana kami harus melangkahkan kaki ini. Aku membayangkan rumahku
yang terang, membayangkan kamarku yang hangat, betapa bahagianya berada disana.
Ingin rasanya cepat kembali kesana, tapi badai di luar sana masih belum juga
meredakan aktifitasnya. Entah berapa lama lagi kami harus menunggu di tempat
ini. Bayangan kerinduan itu menghadirkan perasaan lain yang sangat asing ketika
pertanyaan yang sama kembali terlontar dari Surya.
Kenapa
jadi begini? pikirku, kenapa semuanya tergantung padaku?
Aku
memandang sahabatku satu persatu, mereka membalas tatapanku penuh harap. Aku
tak bisa mengubur semua mimpi dan harapan mereka. Aku mengangguk perlahan, ku
ikuti ingin mereka untuk tetap melangkah.
Kami
membereskan segala perlengkapan, bersiap untuk kembali melanjutkan perjalanan
yang tertunda. Kembali kami langkahkan kaki dengan sebuah harapan baru. Bergelut
dengan badai yang masih meronta-ronta meluapkan emosinya. Berjuang bersama
untuk mencapai satu tujuan. Kami tinggalkan tempat yang sudah melindungi kami
dari kemelut badai yang tak pernah kami perhitungkan sebelumnya. Tak akan
pernah bisa kulupakan, tak akan mungkin bisa ku abaikan. Pengalaman berharga
yang begitu nyata menguji kebersamaan kami.
Watu tulis, menjadi saksi kebersamaan kisahku dan sahabat-sahabat petualangku.
Watu tulis, menjadi saksi kebersamaan kisahku dan sahabat-sahabat petualangku.