Gambar

Gambar
Izinkan saya berbagi tentang kisah saya dan mereka..!!

Kamis, 19 Desember 2013

TOPENG


Aku mulai rindu diriku yang dulu, sosok aku yang periang dan penuh dengan canda, selalu mengisi hari-hariku dengan lawakan-lawakan konyol, berceloteh tentang hal-hal tak penting yang menyeret orang-orang terdekatku terlarut dalam tawa. Semuanya berubah, ketika kudapati diriku terpuruk dalam kesendirian, aku terlalu kecewa, kekecewaan yang sering kali membuatku memaki diriku sendiri dalam diam. Kejujuran yang kukira semula akan membawa kedamaian, justru berbalik menjadi bumerang yang menghantam bagai palu gada yang meruntuhkan tembok kebahagiaan yang telah kubangun selama ini.
Aku bosan selalu berada dalam kepura-puraan, aku lelah berperan dalam drama yang kumainkan, aku hanya ingin melepaskan topeng ini, topeng yang kini seolah menjadi bagian dari hidupku. Aku rindu tertawa lepas tanpa ada beban yang bergelayut dalam pikiranku, tersenyum bebas tanpa ada rasa yang mengganjal dalam hatiku.
Tawa ceria seolah lenyap dari hari-hariku, aku seperti lupa bagaimana caranya tertawa. Senyum yang biasa menghiasi bibirku entah dimana sekarang dia berada. Hari-hariku kini sering kuhabiskan dalam diam, tak seperti mereka yang selalu pergi dan berlari dari sang sepi, aku malah justru mencari dan mengejar dimana sang sepi itu bersembunyi. Dalam sepi aku bisa mengingatmu, karena sepi aku bisa mengenangmu. Begitu banyak kenangan yang bisa kusimpan tentangmu dalam ingatanku, kini telah kubungkus, rapih bersama mimpi, harapan dan topeng di satu tempat dalam hatiku yang tak akan pernah bisa kuhapus. 
Satu tahun baru aku mengenalmu, tapi terlalu banyak kau tuliskan cerita dalam hidupku. Sayangnya butuh lebih dari satu tahun bagiku untuk kembali berpura-pura seolah aku tak pernah mengenalmu. Namamu terlalu dalam tertoreh dalam ingatanku, hingga tak mungkin dengan mudah aku dapat mengabaikan semua tentangmu. Kuanggap keputusanmu adalah  penolakan terindah atas mimpi-mimpiku, salahku terlalu banyak berharap atas kejujuran ini. Kuhargai jalan yang kau pilih, walaupun kutahu pasti bukanlah hatimu yang memilih.
Hari-hariku pernah begitu indah, setelah berhasil bangkit dari rasa keterpurukan yang begitu dalam karena kehilangan. Tak kusangka, aku harus merasakannya lagi, tapi setidaknya hari-hariku pernah indah dan bertambah indah ketika aku mengenalmu. Hari-hariku pernah penuh warna akan canda berbalut penuh tawa, dan semakin berwarna ketika kau ikut bercanda dan tertawa bersama didalamnya. Kini, aku mencoba kembali bangkit mencari hari-hariku yang dulu indah dan akan merubahnya kembali menjadi hari-hari terindah seperti dulu, bahkan lebih dari setelah aku mengenalmu.
Pertemuan aku denganmu terakhir kali cukup membuatku terhanyut dalam kebahagiaan, bercerita tentang masa-masa awal pertemuan dahulu. Satu hari lain penuh canda dan tawa bersamamu, namun ada batin yang menjerit dan hampir mengoyak topeng yang kupakai selama ini. Kemarin kau begitu murung, ingin rasanya aku memelukmu, membuatmu merasa lebih baik dari yang pernah kau rasakan. Aku mencoba menghiburmu dengan bercerita, cerita tentang pertama kali aku melihatmu di tempat yang telah kutaruh beberapa mimpi-mimpiku disana.
 
Gunung Papandayan, di tempat itu aku meletakkan beberapa mimpiku, mimpi tentang masa depanku, sebagian kecil mimpi tentang apa yang akan kulakukan nanti disana. Kelak aku ingin mengambil beberapa gambar disana menjelang hari pernikahanku, bersama seseorang yang nantinya akan menemani sisa hidupku. Tak kusangka aku bertemu denganmu disana, khayalku melambung jauh seketika, senyum tipis tersimpul di bibirku, membayangkan dirimu berada di dalam mimpi-mimpiku. Kau begitu manis mengenakan kaos hitam berbalut jaket putih dengan warna merah muda pada kedua sisi lenganya dalam kegiatan sosial yang kita ikuti bersama. Aku melihatmu namun tak lantas berkenalan dan menanyakan namamu, aku terlalu malu melakukannya. Belakangan aku berfikir kalau itu adalah sebuah kebodohan yang teramat sangat yang telah kulakukan.
Aku melihatmu namun tak mengenal namamu, entah apa yang kufikirkan saat itu, kau begitu menarik perhatianku, seolah terus memupuk dan membuatku terus berharap atas khayalan mimpiku tentangmu. Batinku selalu bertanya apa yang sedang kau lakukan disana hari itu. Mataku selalu mencari-cari posisi keberadaanmu, namun kau begitu tertutup, mengabaikanku yang berada persis di hadapanmu. Ku urungkan niatku untuk berkenalan denganmu dan melupakan sekilas mimpi yang sempat kubayangkan bersamamu. 
Pertemuan kita berlanjut selepas kegiatan tersebut, sudah banyak teman-teman dekatku yang mengenalmu, tapi tidak sama halnya denganku. Dua bulan berlalu yang kutahu hanyalah namamu dari seorang sahabat yang kemudian berhubungan dekat dengan adikmu, "Diandra..!!" kupejamkan mata dan kusebut lirih nama itu. Khayalku kembali bertebaran kesegala arah, menuju mimpi-mimpi yang sejak dulu kurajut dengan indah, namamu entah mengapa terangkai dengan sendirinya disana, menempati sisi yang sejak lama kosong. Ketertarikanku akan sosok dirimu terus tumbuh tanpa pernah kusadari, tapi entah kenapa batinku terus berbisik untuk menolak perasaan ini, seolah terus memperingatkanku agar tak lepas kendali. Rupanya hati kecil ini masih belum mampu untuk merasakan kehilangan sekali lagi. Kuputuskan untuk melepas namamu dari setiap mimpi-mimpiku yang mulai terbiasa dengan namamu. Hidupku indah dengan segala angan, mimpi dan tanpa namamu.
.
*Aku selalu tersenyum ketika mengingat masa itu, masa dimana pertama kali aku bertemu denganmu tapi tak mengenal namamu*.
.
Gunung Guntur, aku dan kamu kembali bertemu dalam kegiatan sosial lainnya. Kali ini aku sudah mengenalmu, namun dapat kupastikan tak ada namamu didalam mimpi-mimpiku. Aku memutuskan untuk menempatkan namamu di sisi ruang yang sama dengan nama-nama lain yang mengisi hari-hariku. Ruang terbuka yang tak pernah tertutup untuk segala canda dan tawa. Bagian ruang yang pernah kau sentuh dulu, masih kubiarkan kosong, karena memang tak pernah kubiarkan terbuka sampai hari ini.
Kau duduk tepat didepanku selama perjalanan menuju lokasi, semua terasa biasa saja awalnya, karena posisimu sekarang sama seperti mereka yang duduk disamping atau dibelakangku. Semua angan dan mimpi tentangmu dulu, kuanggap angin lalu yang tak pantas kuharapkan. Aku berganti mengabaikanmu, bukan membalas, hanya tak ingin semua angan-angan ini kembali muncul kepermukaan.
Tak butuh waktu lama, kau merusak segalanya, semua pertahanan yang telah kubuat, kau leburkan tanpa pernah kau sentuh, kau robohkan tembok pembatas tanpa terkecuali, kau temukan kunci ruang yang kusembunyikan tanpa pernah mencari, kau buat aku menyerah pada rasa, kau seret aku terlampau jauh dari zona nyamanku. Tak ada tempat untukku bersembunyi, tak ada jalan untukku berlari. Aku mulai putus asa ketika kutemukan disatu sudut, diantara kekacauan yang telah kau lakukan, penolongku, tak bergerak, tercampakkan bagai benda usang, tapi terlalu berharga untuk kuabaikan. Sebuah topeng, menemani hari-hariku sejak hari itu, yang berujung pada pilihan sulit lainnya, memaksaku memainkan drama yang tak pernah ingin kumainkan.
Kau tahu, hari itu aku tertawa lepas tanpa suara melihatmu. Tertawa dengan apa yang kulihat, kau kenakan slayer biru muda yang kau ikatkan dikepalamu, berbalut jacket merah muda bergambar emoticon smile kuning besar ditengahnya dan celana training panjang yang kau pakai, kau gulung selutut, aku masih dapat dengan jelas mengingat kekonyolanmu sampai hari ini dan masih belum mampu menahan tawa ketika harus mengingatnya.
Tanpa keluh kau tapaki selangkah demi selangkah punggungan gunung menuju puncak, dengan sesekali sebuah lolly pop terselip diantara bibirmu. "Oh Diandra... sekali lagi kau guncangkan hati ini tanpa pernah menyentuhnya." Kali itu drama pertama mulai kumainkan, untuk pertama kalinya dengan terpaksa aku harus memainkan sebuah peran, meski kuakui aku tak bisa terus menerus menahan getaran aneh yang semakin mengusik perasaanku ketika dekat denganmu.
Sejak hari itu perasaanku semakin menjadi, kucari berbagai cara untuk bertemu denganmu. Mencari perhatianmu agar kau menoleh kearahku atau malah menyapaku, tapi tetap bersikap seolah tak ada hati yang bermain. Tersenyum bahagia tanpa pernah merasa ada hati yang tersayat tanpa luka, bercanda mengundang tawa namun terselip makna didalamnya. Tanpa pernah kau sadari semua yang kulakukan adalah drama, sebuah peran yang kumainkan bersama topeng yang mulai terbiasa kugunakan.
Hidupku indah dengan segala angan, mimpi dan hadirmu.
.
*Masa tersulitku mengenalmu telah dimulai, kubiarkan kau masuk dalam kehidupanku, menari-nari di dalam ruang yang telah lama kubiarkan kosong*
 .
Gunung Gede-Pangrango, komunitas kita sekali lagi sepakat untuk mengadakan pendakian bersama, aku dan kamu kembali ikut terlibat didalamnya. Aku bahagia bisa kembali merasakannya, menjelajah dataran-dataran tinggi bersamamu, menapaki jalan yang akan menjadi sebuah cerita dalam kenangan kelak, berada di tempat yang kusukai bersama seseorang yang telah mencuri perhatianku. Jika kamu perhatikan pendakian kali itu, seharusnya ada yang aneh pada diriku, aku seperti sesuatu entah apa, terkadang muncul dan tiba-tiba pergi. Kau tahu sebabnya? aku butuh jarak untuk menenangkan debar jantung dan menghilangkan sengatan aneh yang selalu muncul ketika didekatmu.
Sayang, cuaca pendakian hari itu kurang bersahabat, ada salah satu temanmu yang mengalami kelelahan, aku menemanimu membantunya, memberinya waktu untuk memulihkan kembali kondisi fisiknya yang menurun. Kalau boleh jujur aku lebih berterima kasih kepadanya, bukan karena kondisinya yang mengalami kelelahan, tapi karena dia aku bisa lebih lama bersamamu, berada begitu dekat denganmu, sangat dekat. Hampir dua jam, tak sadar aku tak memperhatikan kondisi fisikku sendiri. Aku mulai mengigil disampingmu yang sedang sibuk mengurus temanmu yang masih lemah diatas pangkuanmu. Jari-jari tanganku mulai kebas, hampir tak bisa kurasakan lututku sendiri karena dinginnya udara malam itu. Tanganku mulai bergetar tak terkendali, suara gemeletuk gigiku yang beradu mulai terdengar, kau menoleh kearahku. Sebelah alismu terangkat memperhatikanku, ada sekilas ekspresi panik terpancar saat itu, entah untuk siapa kau berikan.
Jika kau bertanya kapan moment terindahku bersamamu, aku hanya bisa tersenyum dan membayangkan kenangan ini. Kau mengulurkan tanganmu, mengarahkannya padaku, aku tak bergeming, ragu dengan apa yang kau tawarkan. Sebelah alismu kembali terangkat, berbeda makna kali ini, sinis, ada sekilas raut memohon diwajahmu, matamu memberikan tatapan emosi yang cukup dalam, aku meraihnya.
Hidupku indah, dan semakin indah dengan hadirnya dirimu dalam kehidupanku. Semua mimpiku seolah nyata, terpampang jelas dihadapanku, sentuhan lembut jari-jarimu memberikan warna baru dalam kehidupanku, begitu hangat, mengalirkan sesuatu yang tak mampu kujelaskan dengan kata-kata. 
Belakangan sering kita bertukar cerita dan mengenang bersama pendakian hari itu, kau selalu bertanya tentang perjalanan turun, hanya berdua menuruni setapak demi setapak jalan yang harus kita lewati. Menanyakanku tentang sikapku yang kelewat diam dan kaku, berdua tanpa kata, tanpa bicara, bahkan canda. Kau hanya tertawa mendengar semua penjelasanku, aku memilih berdiam diri ketimbang harus mempermalukan diri. Betapa frustasinya aku saat berdua denganmu, sekuat tenaga menahan rasa bahagia yang meletup-letup tanpa kendali. Meski tanpa kata tapi tersirat makna dari setiap apa yang kulakukan, tanpa bicara namun hadir sebuah asmara didalam hati ini, kutulis sebuah cerita cinta walau tak ada canda didalamnya.
Hidupku indah dengan segala angan, mimpi dan cerita tentangmu.
.
*Kumasuki masa-masa terindahku mengenalmu, tak perlu ada kata, biarkan mata dan hati ini yang bicara,  aku bahagia memiliki cerita bersamamu*
 .
Terlalu banyak cerita tentangmu, terlalu lama drama ini kumainkan, kau tak pernah sadar. Kepalsuan ini terus berlanjut, tapi aku hanya manusia biasa yang memiliki batas, aku punya hati yang tak sanggup menahan terlalu lama rasa yang tersimpan. Aku mulai lelah dengan topeng yang kini seolah menjadi bagian dari diriku, kuakui semua kebohonganku, kupaparkan kepalsuan yang lama kubuat. Maafkan aku yang tak jujur, menghianati kepercayaan yang kau beri, aku terlalu bodoh telah membiarkan rasa ini terus tumbuh dalam pertemanan ini. Kubuka topengku, kukatakan semua rasaku tentangmu tanpa pernah berharap kau balik membalas dengan rasa yang sama.
Jawabanmu membuatku tercekat dalam diam, bukan kecewa yang kudapat, tapi sebuah cerita yang sama dalam tetesan air mata, menggedor semakin keras perasaan bersalahku. Dalam isak kau lempar semua amarah yang kau rasa, kau tuturkan semua kata demi kata, kau salahkan waktu bukan aku, kau maafkan semua dusta yang telah kulakukan. Kejujuranku kau balas dengan sebuah pengakuan yang tak pernah mampu kuduga sebelumnya, ada rasa yang sama di dalam hatimu.
Terlambat, sudah ada laki-laki lain yang lebih berani dari pada aku, memintamu untuk melangkah lebih jauh, tak seperti aku yang hanya menyimpan rasa ini dibalik sebuah topeng. Tak pernah kuharapkan sedikitpun balasan atas kejujuranku sebelumnya, tapi tetap saja pengakuanmu membuatku terjatuh kedalam lubang duka yang menganga, membenamkan semua harapanku tentangmu. Sekali lagi batin ini menangis, menjerit diantara luka baru yang terbuka. Salahku yang dulu mengabaikanmu, salahku yang tak berani menari dalam rasa ini lebih awal.
Kuraih topengku kembali, sekali lagi kumainkan sebuah drama dengan cerita berbeda, ku undang kembali senyum dan tawa yang tadi sempat menghilang dariku. Aku bukan siapa-siapamu dan aku tak ingin jadi penghalangmu, kurelakan kau untuk memilih jalanmu, kuikhlaskan kau mengubur semua angan-anganku tentangmu. Hidupku indah dengan segala angan, mimpi dan tanpa dirimu.
.
 *Maafkan aku karena tak jujur berteman denganmu, maafkan aku yang tak pernah sadar tentang rasamu, maafkan aku yang terlambat menyadari semuanya*
 .
Akhir-akhir ini kita sering berbagi cerita, kau ingat aku pernah bercerita tentang beberapa hal yang kusukai, tentang khayalan, mimpi-mimpi masa kecilku, kebiasaan-kebiasaanku yang menurutmu aneh, tentang ketertarikanku yang berlebihan terhadap sebuah lollypop? Ya, Gunung Guntur, disana aku melihatmu dengan sebatang lollypop terselip dibibirmu. Tak perlu kujelaskan kenapa aku begitu semakin tertarik denganmu, karena mungkin kau sudah bisa mengerti dengan mendengar semua cerita-cerita aneh tentangku.
Kejujuran ini awalnya begitu indah, bahkan terlalu manis untuk diceritakan kembali. Aku dan kamu semakin dekat, sering kita habiskan waktu bersama walau hanya sekedar mengobrol hal-hal yang tak penting. Hubungan ini semakin tidak wajar, kurasakan kegelisahan yang membawaku kedalam rasa aneh yang membuatku risih. Ketidak nyamanan ini semakin menjadi ketika kusadari kesalahan yang selama ini kuabaikan. Aku tak ingin menjadi orang ketiga, aku sadar ada orang lain yang akan terluka bila ia mengetahui hubungan ini.
Kau terus mencariku, mencoba menghubungiku, tapi teriakkanmu terus kuabaikan, kututup telingaku rapat-rapat dari jeritanmu yang semakin nyata. Maafkan aku karena telah menghilang dari kehidupanmu disisa waktu yang seharusnya bisa kita habiskan bersama, aku hanya tak sanggup melihatmu meneteskan air mata. Aku tak pantas mendapatkan air matamu, aku tak ingin menjadi ganjalan atas jalan yang telah kau pilih.
Aku masih mampu mengingat dengan jelas semua tentangmu ketika namaku mulai asing dalam ingatanmu. Kusempatkan diri berkunjung ke tempat dimana aku pertama kali melihat senyummu, di bawah pohon ini aku dan kamu duduk begitu dekat tanpa mengenal satu sama lain, disini aku memulai dan harus mengakhiri semua tentangmu. Telah kuputuskan untuk mengakhiri ceritaku bersamamu, kututup rapat semua lembaran tentangmu. Kucoba untuk kembali tersenyum ketika kulepas satu persatu namamu dari mimpi-mimpiku.
Aku bukan kekasihmu, aku tak ingin menjadi penghalang keputusan yang akan kau ambil, aku tak mau menjadi beban atas apa yang sudah kau pilih. Berita tentang dia yang akan melamarmu sudah sampai ketelingaku, kuharap kau mengerti alasanku menghindarimu. Maafkan aku yang tak berani melangkah lebih dulu darinya, tak perlu menyesali semuanya, salahku yang terlambat memulainya. Tersenyumlah meskipun itu akan terasa menyakitkan.
Kulepas belenggu yang merantaimu untuk memilih jalanmu sendiri, kuanggap keputusanmu adalah penolakan terindah atas mimpi-mimpiku. Hari ini, ketika kumulai tulisan ini, telah kuterima undangan pernikahanmu. Aku tersenyum, kuhargai jalan yang telah kau pilih, setidaknya kejujuran ini sudah membuatmu merasakan apa yang kurasa, kurelakan kau mengubur semua angan-anganku tentangmu. Meski awalnya beban ini terasa berat untukku, semua berubah ketika kudapati hati ini ikhlas menerima semuanya.
“Selamat menempuh hidup baru… Diandra…!!!”
.
Hidupku indah dengan segala angan, mimpi dan kenangan tentangmu.

*   *   *

Sabtu, 14 Desember 2013

Kalau Saja

Kalau boleh aku tidak memilih untuk menjadi dewasa...

Aku memilih untuk menjadi anak kecil saja...

Tak perlu repot memikirkan semua masalah orang dewasa...

Hanya dengan sebuah pelukan...

Aku bisa kembali tersenyum dan tertawa...

Tidak mengerti arti dari sebutir tetes air mata...

Menangis hanya karena aku ingin menangis...

Andai saja ada pilihan itu...

Aku memilih untuk tidak menjadi orang dewasa...

Aku hanya butuh pelukan...

Melupakan sejenak masalah orang dewasa...

Jumat, 06 Desember 2013

Forevermore - Part.3

Yogyakarta, 17:05 Menjelang Sore
Aku tak pernah sanggup melihat matanya terlalu basah, aku tahu yang sedang kulakukan ini salah. Ku lepas genggaman tanganku, ku raih dagunya dan ku angkat agar wajahnya mengarah padaku. Tatapan matanya menyiratkan beban yang begitu berat, aku tak mengerti apa yang harus kulakukan agar dapat melepas beban itu. Ku hapus air mata Nuki yang mulai mengalir tanpa henti, suara isaknya begitu menyayat perasaanku.
"Maaf..." Kata itu meluncur begitu saja dari bibirku tanpa pernah kuperintah sebelumnya. Sangat ingin aku memeluknya, membuatnya merasa tenang dan senyaman mungkin, tapi aku justru terlalu takut malah akan membuat air matanya semakin mengalir deras.
Nuki menggelengkan kepalanya dua kali dengan amat sangat perlahan, tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Hanya getaran-getaran tak terkendali yang terlihat dari sudut bibirnya yang kini tampak terlihat pucat. Ia memalingkan wajah sambil membenarkan letak duduknya. Suasana kembali dalam diam selama sisa perjalanan, hanya suara senandung tembang-tembang jawa dari sosok laki-laki paruh baya yang sejak tadi seperti tidak pernah merasa lelah mengayuh becaknya.
Aku tahu persis siapa orang yang telah menghubungi Nuki barusan, walaupun Nuki tidak memberitahukanku. Tak banyak orang yang mampu membuatnya melepas butiran-butiran tetes air dari pelupuk matanya. Seperti ada sengatan aneh yang menjalar ke seluruh tubuh ini, ketika aku harus menerima kenyataan yang sebenarnya. Otakku terus berputar mencari cara untuk mengabaikannya, tapi tetap saja suatu hari nanti aku harus siap menghadapinya.
Tak seperti biasanya aku seperti ini, bersikap seolah tanpa kendali. Begitu menyesal atas sikapku sendiri, seolah merusak saat-saat berhargaku bersama Nuki, yang seharusnya bisa ku isi dengan penuh canda dan tawa. Aku seperti tak mampu menggerakkan tubuhku, semua terasa kaku. Aku hanya bisa terdiam, menyalahkan sikapku yang terlihat merusak segalanya.
Becak yang kami tumpangi sampai di tepian alun-alun, tak ada gerakan dari aku dan Nuki, "Mas... Mba... sudah sampai..!!" Suara bapak tukang becak memecah keheningan kami berdua. Aku hanya merespon dengan melirik ke arah Nuki yang juga belum menunjukan gerakan dari posisinya.
"Wah... sudah sampai yah..." Nuki menjawab, sedikit membuatku merasa terkejut. Nada suaranya seolah tak pernah terjadi apa-apa, aku bingung bagaimana caranya ia bisa melakukan semua ini.
Si bapak tukang becak sedikit mengangkat sisi bagian belakang becaknya, agar memudahkan kami turun. Nuki mendahuluiku menuruninya, sedikit berjingkat layaknya anak kecil yang sedang bersuka cita.
"Terima kasih banyak sudah mengantar kami pak..." Ucap Nuki dengan nada ceria.
Aku melempar senyum ke arahnya, "Dan terima kasih juga untuk lagu-lagunya" sambungku sedikit menganggukkan kepala "Suara bapak tadi benar-benar membuat kami terbawa suasana".
"Ah mas bisa saja..." Jawab bapak itu sambil memutar arah becaknya membelakangi kami, "Selamat menikmati kota Jogja, saya pamit dulu mas, mba..." Katanya lagi, kembali bersenandung, meninggakan kami yang masih berdiri memperhatikannya untuk beberapa saat.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan disini?" Nuki menyikut pelan pinggangku dengan sikunya, berusaha mencairkan kembali suasana kaku yang tadi sempat terjadi.
"ehmm kesana..." Jawabku sambil menunjuk kearah pohon beringin kembar di tengah alun-alun, masih dengan nada sedikit datar, "Aku penasaran dengan mitosnya, jadi kupikir apa salahnya kalau kita mencoba".
"Wahhh boleh juga" Respon Nuki kelewat antusias, kepura-puraannya sedikit terlihat "Ayo, aku juga belum pernah mencobanya" Nuki menarik lenganku dengan semangat. Sikapnya masih berusaha menutupi, seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Yogyakarta, 17:25 Sore Hari
Aku dan Nuki berjalan beriringan menuju sisi tengah alun-alun, kami mencoba mitos yang sudah sering kami dengar tentang pohon beringin kembar yang berada di tengah alun-alun selatan keraton Yogyakarta. Konon katanya, jika kita berhasil berjalan di antara kedua pohon beringin kembar tersebut dengan menutup mata, keinginan dan harapan kita akan segera terkabul.
Aku menyewa penutup mata yang banyak dijajakkan disekitar alun-alun. Percobaan pertama dan keduaku gagal, entah kenapa ketika berjalan langkahku malah berbalik arah menjauhi pohon beringin kembar tersebut. Rasa penasaranku semakin menjadi, aku kembali mencoba untuk ketiga kalinya. Usahaku membuahkan hasil, aku berhasil berjalan diantara pohon beringin kembar, meski tidak persis berada ditengahnya.
Tiba giliran Nuki yang mencobanya, percobaan pertamanya benar-benar gagal total, Nuki menabrak seorang pedagang keliling yang sedang melintas. Aku tertawa terbahak melihatnya, bukan mencoba memberinya peringatan malah sengaja membiarkannya. Nuki salah tingkah, dia melepas penutup matanya dan melepaskan tatapan sinis padaku "Tega..!!" Ucapnya sambil melempar penutup matanya kearahku, "Aku ga mau mencobanya lagi" ia berjalan sedikit berlari melewatiku yang masih berusaha menahan tawa.
"Hehehe... iya maaf, aku kan cuma bercanda" Sanggahku.
"Tapi itu tadi ga lucu..!!"
"Iya iya, aku kan sudah minta maaf" Aku ikut berlari-lari kecil mengimbangi langkah kaki Nuki.
"Kamu ga ngerasain sih, gimana rasanya tadi jadi perhatian orang banyak".
Aku tidak menjawabnya, yang dapat kulakukan hanya memberinya ekspresi aneh menahan tawa dengan memamerkan barisan gigi bagian depanku.
Tanpa kami sadari kami berjalan menuju deretan sepeda yang berjajar rapih ditepian alun-alun. Tiap-tiap sepeda terdapat lampu warna-warni menyala dengan indah pada bagian sisi-sisinya. Sepertinya sang pemilik sepeda sudah memodifikasi sepedanya agar dapat ditumpangi oleh dua orang atau lebih. Ada papan yang menunjukkan harga tertentu untuk tiap kapasitas, rupanya sepeda-sepeda tersebut disewakan.
Nuki menghentikan langkah kakinya, "Oke aku maafin, tapi aku mau naik itu" Sambil menarik lengan bajuku dan menunjuk salah satu sisi tepian alun-alun.
Syarat yang terlalu mudah fikirku, aku berpura-pura menunjukkan ekspresi keberatan, mengacak-acak rambutku sendiri dengan sebelah tangan yang terbebas dari pelukan Nuki yang semakin frontal menarik-narik lengan bajuku. 
"Ayooo... ga usah pake mikir kenapa sih..!!" Nuki kembali mengulangi permintaannya.
Hampir satu jam lamanya kami bermain sepeda, menyusuri jalan yang mengitari alun-alun selatan keraton Yogyakarta. Aku dan Nuki bersepeda ria dengan sesekali di iringi gelak dan tawa, mencoba menyeimbangkan sepeda yang kami naiki bersama, rupanya tak semudah yang kufikirkan.
Sebuah obrolan ringan kembali terjadi diantara canda dan tawa, membuat otakku sedikit berfikir jauh kedepan, meninggalkan rasa nyaman yang sedang kurasakan saat ini.
"Dika..."
"Yaa..." Aku sedikit menoleh merespon panggilannya dengan sedikit tersenyum.
"Aku belum pernah mendengarmu membicarakan soal pernikahan, kenapa?" Tanya Nuki.
"Ah, aku? kenapa ya? mungkin karena memang belum terpikirkan saja olehku" Pertanyaannya mengaburkan senyumku seketika. "Kau sendiri?" Aku balik bertanya.
"Mulai kepikiran sih, tapiii..."
Ada jeda yang cukup lama ketika dia akan menjawab pertanyaanku, sedikit membuatku penasaran akan jawabannya. Kuputuskan untuk tidak mengetahuinya sama sekali, "Aaahhh... sudahlah, jangan bahas masalah seperti itu sekarang", potongku "ehmm... sepertinya aku mulai lapar, gimana kalau kita ke tugu sekarang saja?" Aku mencoba mengalihkan perhatian.
Nuki menganggukan kepalanya tanda setuju, tanpa ada kata yang keluar dari bibirnya, mungkin dia masih memikirkan pertanyaan yang balik kuajukan padanya.

Yogyakarta, 18:51 Menjelang Malam
Kami kembali menaiki sebuah becak menuju tugu jogja, entah kenapa Nuki lebih memilih tempat ini untuk makan malam kami. Aku menyetujuinya begitu saja ketika dia memintanya, tak penting dimanapun kami makan malam pikirku, yang terpenting sekarang adalah dia berada disampingku, begitu dekat dengaku.
Aku begitu terhanyut dalam suasana hari ini, emosi yang meletup-letup dengan mudahnya berubah menjadi sebuah canda, butiran air mata yang menetes dapat dengan cepat berganti menjadi sebuah tawa.
Aku begitu mengenal Nuki tapi tak begitu memahami isi hatinya, terlebih lagi tentangku. Terkadang aku merasa, kalau justru sebenarnya aku sedang berpura-pura untuk tidak memahami isi hatinya. Ada begitu banyak petunjuk, meski bukan dalam kata yang dia berikan tentang isi hatinya. Tapi aku menolak, meskipun terkadang aku juga bersikap sama bodoh dengannya, memberikan sinyal yang sama, juga bukan dalam kata. Kupikir Nuki mengerti maksut dari ini semua, aku yakin Nuki paham dengan apa yang telah kami lakukan. Semua tanda, petunjuk, sikap, gelagat, sinyal atau entah apapun itu dengan berat kami abaikan. Lagi-lagi tanpa kata, diantara kami seperti ada perjanjian tak tertulis, tak boleh membiarkan ini semua terjadi. 
Kami tiba di tempat yang kami tuju, gerobak-gerobak nasi kucing berjajar sepanjang jalan. Begitupun para pembelinya, memilih tempat duduknya masing-masing, lesehan diatas tikar-tikar yang sudah disediakan didepan pelataran toko atau trotoar jalan. Kami menempati salah satu tikar yang masih kosong dengan membawa makanan dan minuman yang sudah kami pesan sebelumnya. Duduk bersebelahan menghadap jalan melihat lampu-lampu temaram kota Jogja yang bersinar oranye.
Salah seorang pengamen mendekati kami, menyapa Nuki dengan ramahnya, "Loh... Mba Nuki, sama siapa mba?"
"Eh, mas Joe... Kenalkan ini sahabatku dari Jakarta, Dika" Jawab Nuki.
"Oow... ini toh yang namanya mas Dika yang sering mba ceritakan" Pengamen laki-laki yang Nuki sebut namanya mas Joe itu menyodorkan tangan kanannya kearahku.
"Dika..." Aku menyambut dan menjabat tangannya sembari menganggukkan kepala, "Wah, Nuki sudah cerita apa saja tentang saya mas?" Tanyaku sambil melemparkan senyum ramah.
"Banyak mas, hampir tiap kita ketemu selalu saja ada pembahasan tentang mas Dika" Jawabnya.
Aku mengalihkan pandanganku kearah Nuki, menatapnya dengan sedikit rasa penasaran, dia hanya membalasnya dengan sikap acuh seperti tak memperhatikan.
"Kalau mau ngobrol nanti saja, kasian mas Joe, rejekinya tertunda gara-gara ngobrol sama kamu" Sela Nuki.
"Hehe, nda papa mba, cuma ngobrol sedikit ko" jawab mas Joe, "Ya sudah dari pada saya yang malah jadi mengganggu, mba Nuki dan mas Dika mau request lagu apa?" Tanyanya lagi.
"Lagu yang biasanya saja mas..!!" Sambar Nuki dengan cepat.
Senyum simpul tanpa komentar terukir dibibir mas Joe yang mulai memainkan gitarnya melantunkan lagu 'Pergilah Kasih' yang dipopulerkan ulang oleh d'masiv.
Entah kenapa tiba-tiba saja lirik lagu tersebut membuatku tersentuh, padahal sudah pernah kudengar sebelumnya, bahkan lebih dari sekedar sering. Mas Joe membawakan lagu tersebut dengan begitu lirih, sambil sesekali tersenyum kearah kami bergantian. Keyakinan ini semakin menguat, tapi semakin kuat pula aku harus menolaknya.
Selepas makan malam kami singgah sejenak di tugu Jogja, mengambil beberapa gambar untuk kenang-kenangan. Dari sana kami melanjutkan berjalan kaki menuju stasiun kereta, rencananya Nuki akan mengantarku sampai stasiun. Perjalanan menuju stasiun terasa begitu lama, tak tahu kenapa tiba-tiba saja kami seperti kehabisan bahan untuk saling berkata. Sekali lagi aku dan Nuki akan terpisah oleh jarak, entah kapan, bisa atau tidak kami akan bertemu kembali seperti ini. Memikirkannya membuatku merasa ingin teriak, lagi-lagi hanya diam yang bisa kulakukan.
Kami mulai memasuki pelataran stasiun, kulihat jam tanganku, kedatangan kereta yang akan kunaiki masih kurang 18 menit lagi, "Hey, kamu mau pergi duluan?" Aku mengajukan pertanyaan pada Nuki, "Sudah hampir jam 8 malam, kurasa tak apa jika aku menunggu sendiri saja" Tambahku lagi.
Tak ada jawaban dari Nuki, bahkan menolehpun tidak, kepalanya tertunduk layu, rambutnya yang tergerai menutupi wajahnya. Masih kutunggu responnya untuk beberapa saat, tapi tak kunjung juga ada jawaban yang keluar dari bibirnya.
Kuraih dagunya agar tatapan wajahnya mengarah padaku, Nuki menolak, sekilas kulihat kilasan air mata terpancar dari dua bola matanya. 'Ia menangis' pikirku, tapi kenapa? kesalahan apalagi yang sudah kulakukan? lagi-lagi aku dibuat bingung olehnya, kuraih tangannya, ada sebuah handphone terselip di dalam genggaman tangannya, masih bergetar. Sekali lagi kulihat Nuki menangis karena benda ini, kupastikan rasa penasaranku, kucoba untuk mengambilnya, tapi genggamannya semakin kuat, "Tak apa, aku hanya ingin melihatnya, boleh?" Perlahan Nuki mengendurkan genggaman tangannya.
12 kali panggilan tidak terjawab, aku tersenyum, ku kembalikan handphone itu kepadanya. "Kenapa sedih?" Tanyaku, "Seharusnya kamu bahagia ada orang yang begitu peduli dan mengkhawatirkan dirimu!"
"Bukan itu..." Sambarnya.
"Aku tahu... tak usah kau menangis hanya karena aku Nuki, aku bukan siapa-siapamu, aku hanya sahabatmu, seorang sahabat yang tidak seharusnya membuatmu meneteskan air mata seperti ini".
"Aku hanya..." Satu jariku kutempelkan dibawah pelupuk matanya, menghapus air matanya, membuatnya menghentikan kata-kata yang ingin diucapkan olehnya.
"Tak perlu kau jelaskan, aku mengerti semuanya, aku tak mau membuatmu memilih, dia begitu baik padamu, akupun sudah mengenalnya dengan baik, kurasa dia orang yang pantas untukmu, 5 tahun sudah kalian menjalin hubungan, tak perlu ada yang kau ragukan lagi".
Nuki menengadahkan wajahnya, menatap lekat mataku dalam-dalam, kuharap Nuki tak membaca makna dibalik kata-kataku yang sesungguhnya pengharapan. Air matanya terus mengalir tanpa henti, tak ada lagi yang sanggup kulakukan untuk menghentikannya selain ucapan yang malah membuat air matanya mengalir semakin menjadi.
Kereta yang akan kunaiki sudah memasuki stasiun, suara panggilan untuk para penumpang sudah diperingatkan untuk menaikinya. Ekspresi wajah Nuki semakin gelisah, bibirnya bergetar hebat, terlihat sedikit kedutan diatas alis kanannya menahan emosi. Nuki memelukku, erat, sangat erat, kubalas pelukan hangatnya, "Kuharap ini bukanlah pelukan perpisahan, tapi awal dari segalanya, jangan pernah membuat hatimu ragu, aku yakin kau sendiri sudah memiliki keyakinan dalam hatimu. Kumohon jangan ragu, aku sudah melakukan pilihanku, untuk tidak membiarkanmu memilih. Tolong, jangan buat dirimu menjadi seperti yang kulakukan..." Kulepaskan pelukannya, "Jaga dirimu baik-baik, titip salamku untuknya..." Seperti ada ruang hampa yang tiba-tiba muncul ketika kata-kata itu terucap dari bibirku. Tapi keputusan ini sudah kuambil, tak boleh ada hati lain yang terluka, kupastikan semua rasa yang selama ini terpendam untuk tetap berada didalam lubang yang sama seperti sebelumnya. Aku berbalik melangkah, meninggalkannya tanpa menoleh kembali, sendiri dalam linangan air mata, terdiam diantara emosi yang kembali terpisah oleh jarak.
*   *   *